Menyapa Nusantara

Memperkuat Benteng Padat Karya di Jantung Kawasan Industri

Kelemahan ini diperparah oleh kenyataan bahwa mayoritas pelaku usaha lokal masih terjerat dalam lingkaran kesulitan modal

Editor: Fandi Wattimena
ANTARA/HO-Kemenperin
Ilustrasi - Aktivitas karyawan di sektor industri makanan dan minuman. 

TRIBUNAMBON.COM - Sektor manufaktur, yang merupakan penopang utama perekonomian dan penyedia lapangan kerja terbanyak atau sektor intensif tenaga kerja, terus dilemahkan oleh serangkaian kendala struktural.

Permasalahan ini meliputi fluktuasi harga bahan baku impor akibat gejolak nilai tukar rupiah, beban operasional yang membengkak (termasuk logistik dan energi), hingga tekanan pasar yang tak terhindarkan dari produk ilegal yang masuk dengan harga predatory.

Kelemahan ini diperparah oleh kenyataan bahwa mayoritas pelaku usaha lokal masih terjerat dalam lingkaran kesulitan modal, menghadapi tumpukan regulasi yang membingungkan, dan ketidakpastian dalam proses perizinan.

Meskipun Indonesia telah memiliki 175 Zona Manufaktur, sebagaimana tercatat dalam laporan Ditjen KPAII Kementerian Perindustrian kepada DPR RI, optimalisasi kawasan tersebut terhambat oleh minimnya infrastruktur pendukung di luar zona industri.

Persoalan fundamental tentang kompetitivitas industri nasional yang telah mencapai titik kritis menjadi agenda utama yang disuarakan kembali di lingkungan legisatif setelah menerima masukan dari berbagai asosiasi.

Oleh karena itu, strategi paling realistis saat ini adalah mengubah paradigma: Dari berfokus pada penciptaan ekosistem baru menjadi penguatan dan perlindungan lingkungan usaha yang sudah mapan. Itu diwujudkan melalui peningkatan pertahanan digital pasar, penjaminan modal kerja pro-Industri Kecil Menengah (IKM), dan penataan ulang tata niaga bahan baku domestik.

Baca juga: Berkenalan dengan "Haenyeo", Tradisi Jeju yang Kini di Ujung Tanduk

Jika pemerintah gagal merespons tantangan ini melalui solusi yang pragmatis dan hemat biaya, bukan lagi sekadar wacana pembangunan infrastruktur bernilai triliunan, maka harapan untuk mewujudkan sektor penyerap tenaga kerja yang tangguh hanya akan berakhir sebagai ilusi di tengah ancaman defisit perdagangan yang kronis.

Kita tidak butuh kebijakan tambal sulam yang hanya memindahkan beban dari satu institusi ke institusi lain. Solusi harus difokuskan pada titik nyeri pelaku IKM—yaitu beban operasional yang melambung dan kurangnya perlindungan pasar.

Pendekatan yang paling efektif haruslah bersifat konstruktif, mengejar solusi cepat (low-hanging fruit), dan secara langsung berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat melalui sektor industri berbasis sumber daya manusia.

Meskipun ide-ide besar seperti pembentukan dana abadi negara atau proyek infrastruktur berskala masif terdengar ambisius, implementasinya menghadapi kendala anggaran yang besar dan dampak jangka panjang yang belum pasti terhadap daya beli masyarakat.

Inilah mengapa solusi haruslah konstruktif, berbiaya rendah, dan realistis. Tiga pilar solusi yang harus diutamakan, yaitu peningkatan pertahanan digital pasar, penjaminan modal kerja pro-IKM, dan penataan ulang tata niaga bahan baku domestik. Inilah fondasi paling kokoh untuk menjaga keunggulan kompetitif dan menggerakkan roda ekonomi nasional.

Integrasi data mikro

Salah satu lubang terbesar dalam upaya menjaga sektor intensif tenaga kerja adalah pengawasan yang tidak fokus dan lemahnya integrasi data.

Kebijakan cerdas harus memanfaatkan keunggulan teknologi untuk menyelesaikan dualitas masalah masuknya produk non-prosedural dan kompleksitas perizinan secara simultan.

Langkah strategis pertama adalah menerapkan Smart Import Watchlist. Sistem ini, sesuai usulan kajian logis, menggunakan analisis data canggih untuk membatasi pengawasan ketat hanya pada jalur impor yang secara faktual terbukti paling merusak IKM padat karya (termasuk tekstil, sepatu, mainan, serta makanan dan minuman).

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved