Menyapa Nusantara

Berkenalan dengan "Haenyeo", Tradisi Jeju yang Kini di Ujung Tanduk

Drama tersebut menceritakan tentang Oh Ae-sun, yang merupakan putri seorang haenyeo di Pulau Jeju, pontang panting

Editor: Fandi Wattimena
ANTARA/Ade Irma Junida
Ketua Asosiasi Haenyeo Segye-ri Lee Bok-soo dalam sesi wawancara dengan media di sekitar perairan di Desa Sagye-ri, Seogwipo, Jeju, Korea Selatan, Rabu (12/11/2025). 

TRIBUNAMBON.COM - Jika pernah menonton serial drama Korea Selatan berjudul "When Life Gives You Tangerine", tentu tidak asing dengan Pulau Jeju dan aktivitas para haenyeo.

Drama tersebut menceritakan tentang Oh Ae-sun, yang merupakan putri seorang haenyeo di Pulau Jeju, pontang panting mengejar mimpinya menjadi seorang penyair di tengah kerasnya kondisi ekonomi dan warisan tradisi.

Haenyeo, atau penyelam bebas wanita asal Jeju, merupakan tradisi yang telah hidup sejak sekitar seribu tahun lalu. Mereka mengumpulkan teripang, abalon, kerang, serta rumput laut, tanpa alat apapun sebagai mata pencaharian utama.

Sejatinya, mayoritas haenyeo berasal dari Pulau Jeju. Di masa lalu, haenyeo asal Jeju bermigrasi ke berbagai pesisir, bahkan hingga ke Jepang dan Qingdao (China).

Dulunya, penyelam bebas ini bukan hanya diperankan oleh wanita, tetapi juga para pria. Seiring waktu, populasi haenyeo laki-laki semakin menipis karena meningkatnya kematian pelaut, saat menangkap ikan, sehingga para perempuan mengambil alih pekerjaan ini.

Menjadi haenyeo tidak mudah, butuh kekuatan dan keteguhan hati. Pasalnya, wanita yang hidup sebagai haenyeo berarti harus siap menyelam, hingga puluhan tahun, bertaruh nyawa, mencari nafkah, sambil tetap mengasuh putra dan putri mereka.

Hal itu pula yang dirasakan Lee Bok-soo (71) dari Desa Sagye-ri, Seogwipo, Jeju, Korea Selatan. Lee telah menjadi haenyeo selama lebih dari 50 tahun dan masih melakukan pekerjaan tersebut, hingga saat ini.

Baca juga: Mentan Pastikan Serapan Anggaran 2025 Bisa Capai 93 Persen di Desember

Di tengah udara pagi Pulau Jeju yang sejuk pada minggu kedua November 2025, Ketua Asosiasi Haenyeo Segye-ri itu menceritakan pengalamannya kepada para wartawan ASEAN dalam ASEAN Journalists Invitation Program yang digelar oleh ASEAN-Korea Centre.

Lee telah belajar menyelam sejak usia muda. Ibunya yang juga seorang haenyeo, mengajarkannya menyelam sejak kecil. Lee juga menyebut, saat ia masih kecil, hampir semua ibu di desanya berprofesi sebagai penyelam.

"Kami belajar menyelam secara alami. Saat kami masih kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan sepulang sekolah. Jadi kami hanya berenang dan bermain di laut," katanya.

Lee bercerita, telah mahir menyelam sejak usia muda. Sekitar usia 18 atau 19 tahun, ia telah memulai debutnya sebagai seorang haenyeo. Sambil terus tersenyum, wanita yang sudah punya dua cucu ini mengaku sangat bekerja keras untuk menjadi seorang haenyeo.

"Menjadi haenyeo adalah sesuatu yang sangat saya tekuni. Sepertinya kerja keras ini yang membuat saya tampak awet muda," ujarnya, sambil tertawa.

Wajah Lee semringah, kulit pucatnya tampak masih kencang dan mulus di usianya yang senja.

Postur tubuhnya juga masih cukup tegap, dan ia masih sangat lincah di dalam air. Layaknya seorang ibu, ia sempat berkali-kali mengingatkan kami, para wartawan, untuk menjauh dari tangga batu di dermaga tempat mereka mulai melakukan penyelaman.

Untuk menyelam, para haenyeo mengenakan pakaian selam khusus berbahan karet, lengkap dengan fin (kaki katak). Selain itu, mereka juga perlu mengenakan kacamata selam bulat besar untuk menutupi bagian wajah, serta tewak.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved