Menyapa Nusantara
Berkenalan dengan "Haenyeo", Tradisi Jeju yang Kini di Ujung Tanduk
Drama tersebut menceritakan tentang Oh Ae-sun, yang merupakan putri seorang haenyeo di Pulau Jeju, pontang panting
Tewak adalah pelampung bundar besar yang berfungsi sebagai penanda posisi haenyeo di laut, juga berfungsi sebagai alat bantu mengapung saat mengambil napas.
Pelampung ini juga menjadi tempat untuk menggantungkan jaring di mana para haenyeo menyimpan hasil tangkapan mereka. Di dalam keranjang, ada bitchang atau besi pencungkil yang berbentuk seperti kail, yang gunanya untuk mengambil abalon dari bebatuan.
Pekerjaan berisiko
Lee mengakui bahwa sejak sejumlah serial drama tentang kehidupan haenyeo di Netflix menjadi populer, semakin banyak wisatawan datang ke Jeju untuk mencoba tur pengalaman menjadi haenyeo.
Menurutnya, hal itu cukup menyenangkan karena ia merasa bangga melihat tradisi Jeju, khususnya mengenai haenyeo, semakin dikenal dunia.
"Biasanya awal Mei sampai akhir Oktober itu jadi musim yang cukup ramai dengan wisatawan yang datang ke sini untuk mencoba pengalaman menjadi haenyeo," katanya.
Saat ini di Sagye-ri ada sekitar 35 haenyeo, dua di antaranya merupakan haenyeo laki-laki. Meski demikian, Lee mengatakan mayoritas haenyeo di desa tersebut berada di usia rata-rata di atas 65 tahun.
"Hanya ada tiga haenyeo yang berusia 40 dan 50-an tahun," katanya.
Lee menyebut saat ini generasi muda yang ingin belajar menjadi haenyeo terus berkurang. Ia pun mengaku khawatir tradisi ini akan hilang di masa mendatang.
Bayangkan saja, dari 35 haenyeo yang ada di Sagye-ri, tidak ada satupun anak mereka yang tertarik untuk menjadi haenyeo. Jika ada haenyeo baru, biasanya mereka datang dari wilayah lain, bukan desa setempat.
Menurut Lee, wajar jika profesi haenyeo tidak menarik minat anak-anak muda Jeju. Menjadi haenyeo sangat berat dan melelahkan, ditambah lagi risiko yang harus dihadapi setiap kali menyelam, terutama secara fisik. Tekanan air di bawah laut bisa menyebabkan sakit kepala, belum lagi sakit punggung dan risiko kecelakaan di laut.
"Saya punya dua putri, tapi saya tidak mau mereka menjadi haenyeo. Begitu pula mereka. Mereka bilang, sulit sekali melihat ibu melakukan pekerjaan itu," ujarnya.
Meski khawatir dengan masa depan tradisi tersebut, Lee pun merasa berat merekomendasikan profesi ini kepada generasi muda. Menjadi haenyeo berarti harus mengikuti semua tradisi yang ada, sekaligus bekerja keras untuk bisa terus bertahan.
"Rasanya rumit. Saya berharap tradisi ini bisa terus hidup sampai di masa mendatang, tapi di sisi lain, saya paham betapa berat perjuangan untuk bisa menjadi seorang haenyeo," katanya.
Lee, bahkan berkilah, jika ia punya kesempatan dilahirkan kembali, ia tidak ingin menjadi haenyeo. Ia ingin belajar lebih giat, bisa sekolah tinggi dan melakukan pekerjaan kantoran yang lebih baik.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/ambon/foto/bank/originals/Bok-soo.jpg)