DPRD Buru

Masuk Zona Merah, DPRD Buru Soroti Bahaya Limbah Tambang Emas Ilegal Gunung Botak 

Dalam rapat tersebut komisi III membahas dampak pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3)

|
TribunAmbon.com/ Ummi Dalila Temarwut
DPRD BURU - Ketua Komisi III DPRD Buru Muhammad Rum Soplestuny saat di wawancarai di ruang Sekretaris DPRD Buru,Rabu (20/8/2025) 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com Ummi Dalila Temarwut 

NAMLEA,TRIBUNAMBON.COM - Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buru, Roem Soplestuny dampak pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) di perairan kabupaten berjuluk Bumi Bupolo itu.

Menurutnya, B3 kini menjadi ancaman serius ekosistem perairan, daratan juga punya potensi serupa.

Wilayah Teluk Kayeli salah satu kawasan paling rawan.

"Contohnya di Teluk Kayeli. Kalau ikan sudah tercemar, maka sangat berbahaya karena itu yang kita makan sehari-hari," tutur Soplestuny kepada TribunAmbon.com Rabu(20/8/2025) 

Kondisi itu pun jadi bahasan serius dalam rapat kerja komisi III di Gedung DPRD Buru, Rabu (20/8/2025).

Hasilnya, dipastikan koordinasi lintas stakeholder bakal semakin inten tuk mencegah dampak B3 yang berasal dari aktivitas tambang emas ilegal di Gunung Botak.

“Kami berkoordinasi dengan Dinas Perikanan dan DLH untuk mencegah limbah dari aktivitas ilegal di Gunung Botak,"

Dinas Perikanan pun akan diminta untuk observasi menyeluruh terkait dampak limbah B3 di laut.

Baca juga: Gubernur Intruksi Tertibkan Gunung Botak: Polres Tunggu Koordinasi, DLH Tunggu Surat

Baca juga: Tambang Ilegal Gunung Botak Masih Merajalela, Polisi Tunggu Koordinasi

“Kita sudah berdiskusi di DPRD Provinsi bersama beberapa narasumber, termasuk profesor dari Unpatti, yang menegaskan bahwa Kabupaten Buru sudah masuk garis merah. Daerah ini sangat rawan terkena dampak limbah merkuri,” tegasnya.

“Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi menyangkut masa depan kesehatan masyarakat di Buru. Kalau limbah B3 dibiarkan, maka generasi kita yang jadi korban,” pungkasnya.

Diketahui, Gunung Botak telah menjadi lokasi aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang masif sejak tahun 2011, dengan ribuan tenda penambang menduduki lahan seluas sekitar 250 hektar.

Aktivitas ini mencemari lingkungan secara serius melalui penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida.

Air sungai, sumur, bahkan ternak dan sayuran warga sekitar sempat tercemar parah. (*)

Sumber: Tribun Ambon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved