HUT RI ke 80

80 Tahun Indonesia Merdeka: Refleksi Kritis dari Tanah Maluku, Sudahkah Kemerdekaan Merata?

Namun, di tengah perayaan yang meriah, sebuah pertanyaan kritis muncul dari Tanah Maluku, oleh seorang pemuda.

ISTIMEWA
KEMERDEKAAN RI - Pemuda Maluku, Alwin Christh Tetelepta menyampaikan refleksi kritis menjelaskan momen HUT ke-80 Republik Indonesia, Sabtu (16/8/2025). 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Jenderal Louis

AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Tanggal 17 Agustus 2025 menjadi momen bersejarah. 

Tepat 80 tahun silam, Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, membebaskan bangsa ini dari belenggu kolonialisme. 

Namun, di tengah perayaan yang meriah, sebuah pertanyaan kritis muncul dari Tanah Maluku, oleh seorang pemuda.

"Sudahkah kemerdekaan benar-benar bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di daerah-daerah seperti Maluku?," tanya Alwin Christh Tetelepta, Sabtu (16/8/2025).

Baca juga: Soal Istri Ketua KPU SBT Siti Julaeha Sehwaky, Bupati Fachri: Kami Perlu Bukti 

Indonesia telah memiliki sistem demokrasi yang kokoh, ditandai dengan pemilu rutin dan kebebasan pers. 

Namun, Alwin menyoroti ironi di baliknya. 

"Rakyat memang bebas memilih, tapi apakah yang mereka pilih benar-benar mewakili aspirasi mereka?" tanyanya.

Refleksi ini menggema, terutama ketika praktik politik uang dan dinasti politik masih menjadi pemandangan umum.

Di Maluku, misalnya, fenomena ini tidak asing. 

Terpilihnya kembali figur-figur lama atau keluarga pejabat dalam kontestasi politik sering kali menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman elite terhadap kekuasaan. 

Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah kebijakan yang dibuat benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, atau sekadar untuk mempertahankan status quo kekuasaan?.

Kasus-kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan, seperti dugaan korupsi pembangunan talut pengendalian banjir di Kabupaten Buru, menjadi contoh nyata bagaimana dana publik tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat.

Indonesia kaya akan sumber daya alam, dan Maluku adalah salah satu permata itu. 

Namun, Alwin menyoroti ketimpangan yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun tingkat kemiskinan di Maluku menurun, angkanya masih berada di atas rata-rata nasional. 

Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan Maluku mencapai 15,74 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 9,36 % .

Baca juga: Meriahkan HUT ke-80 RI, Forum Komunitas Motor Satu Tali Gas Gelar Touring di Ambon

Ketimpangan ini juga terlihat dari analisis Tipologi Klassen yang menunjukkan hanya satu daerah di Maluku, yaitu Kota Ambon, yang mengalami pertumbuhan cepat dan maju. 

Sementara itu, daerah-daerah lain seperti Kabupaten Aru, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur, dan Buru Selatan dikategorikan sebagai daerah makmur yang sedang menurun atau bahkan tertekan. 

Ini mengindikasikan adanya ketidakmerataan signifikan dalam pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota.

Kesenjangan ini terasa nyata bagi para petani dan nelayan. 

Di tengah kekayaan lautnya, nelayan Maluku masih bergelut dengan harga tangkapan yang tidak menentu dan akses yang terbatas pada teknologi modern. 

Sementara itu, infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih masih menjadi isu krusial di banyak desa terpencil.

"Kemerdekaan ekonomi harus menjadi agenda pokok," tegas Alwin.

Ia menuntut agar pemerintah tidak hanya bangga dengan pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga memastikan bahwa kue pembangunan dinikmati secara merata. 

Tanpa itu, kemerdekaan ekonomi hanyalah slogan kosong bagi sebagian besar masyarakat.

Krisis identitas menjadi ancaman nyata bagi generasi muda di era digital. Nilai-nilai Pancasila mulai tergerus oleh budaya instan dan polarisasi sosial. 

Alwin melihat bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi alat pembebasan, justru sering kali memperkuat ketimpangan.

Fakta di lapangan menunjukkan, kualitas pendidikan di Maluku masih jauh dari harapan. 

Akses terhadap fasilitas yang memadai dan guru berkualitas masih menjadi tantangan. 

Banyak anak-anak di pulau-pulau terpencil harus berjuang menyeberangi sungai atau berjalan berkilo-kilometer hanya untuk sampai di sekolah. 

Ini adalah gambaran nyata dari perjuangan untuk meraih masa depan yang lebih baik.

"Kemerdekaan sejati adalah saat anak bangsa bisa tumbuh dengan karakter kuat, bangga menjadi orang Indonesia, dan mampu bersaing secara global tanpa kehilangan jati diri," ujar Alwin.

Hal ini merupakan panggilan bagi semua pihak untuk bersama-sama membangun sistem pendidikan dan kebudayaan yang lebih inklusif dan merata.

Usia 80 tahun adalah tanda kedewasaan. Peringatan HUT RI ke-80 harus menjadi momentum untuk perbaikan, bukan hanya perayaan.

Baca juga: Profil Putri Kumairah Tuhulele, Pembawa Baki di Upacara HUT ke-80 RI di Provinsi Maluku

Refleksi dari seorang pemuda Maluku ini adalah panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa, dari pejabat hingga rakyat jelata.

"Apakah kita ingin terus berkutat pada persoalan klasik: korupsi, kemiskinan, ketimpangan? Ataukah kita ingin benar-benar menjemput cita-cita para pendiri bangsa?" tanya Alwin.

Tugas kita hari ini bukan hanya menjaga kemerdekaan, tetapi juga memastikan bahwa kemerdekaan itu benar-benar bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Refleksi dari Maluku ini menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju Indonesia yang adil dan makmur masih panjang, dan kita harus terus melangkah bersama.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved