Maluku Terkini
Ebes Jusuf: Pengamen Paling Senior di Jakarta yang Rindu Menggedong Cicit di Pulau Seram
Bermodal suara merdu dan kepandaian menyanyi, Ebes Jusuf pun jadi legenda pengamen di Jl Sabang, Kebon Sirih, DKI Jakarta.
TRIBUNAMBON.COM - Ebes, sapaan gaul anak Jakarta untuk Babe Senior disematkan untuk Jusuf Sunardi, seorang perantau dari Pulau Seram, Maluku.
Tahun ini Ebes Jusuf memasuki usia 91 tahun.
Bermodal suara merdu dan kepandaian menyanyi, Ebes Jusuf pun jadi legenda pengamen di Jl Sabang, Kebon Sirih, DKI Jakarta.
Jusuf adalah potret perjuangan anak rakyat mencari kesejahteraan, ikut program pemerintah, terseret konflik SARA, dan kini rindu berkumpul dengan 3 anak, lima cucu dan "menggendong tiga cicit" di Pulau Seram, Maluku.
"Plesetan anak Sabang sini," kata Ebes Jusuf (90), kepada Elga Hikari Putra, jurnalis Tribun Network (TribunJakarta.com), di Jl Sabang, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (11/1/2023) malam.
Menurutnya Ebes Jusuf adalah pengaman jalanan paling senior di pusat ibu kota negera.
"Umur Kakek Ebes itu 90 tahun. Coba cari, ada nggak pengamen aktif sesenior beliau," kata Kamaru, musisi The Sound of Sabang, partner kerja Ebes Jusuf, satu dekade terakhir.

Karena berkolaborasi dengan kelompok musisi jalanan The Sound of Sabang, nama Ebes Jusuf juga kerap dapat akhiran, The Sound of Jalan Sabang, atau The Legend of Sabang.
Nama panjangnya Jusuf Sunardi. "Saya lahir di Semarang, hari Senin tanggal 15 August 1932, tiga belas tahun sebelum Indonesia merdeka," ujar Ebes, dengan ingatan detail dan tajam.
Kelompok penyanyi jalanan kawasan Kebon Sirih, di antara Jl Jaksa, Jl Wahid Hasyim, dan Jl
Sabang, atau Sarinah, punya cara menghibur Ebes Jusuf.
Bukan bernyanyi atau berkelakar, anak-anak pengamen itu, hanya alokasikan waktu mendengar ulangan cerita perjuangan hidup Ebes Jusuf.
Bukan karangan apalagi "kisah kaleng-kaleng", kala di Semarang, Kakek Ebes Jusuf membaur bersama tentara rakyat melawan agresi militer Belanda II, tahun 1948.
Usianya kala itu sudah 17 tahun. Kampung halamannya di Semarang dekat Ambarawa, salah satu wilayah perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan.
Setelah dua dekade kerja serabutan dan jadi buruh tani di Semarang dan Kebumen, di usia 30 tahun, Kakek Jusuf mengadu nasib ke Jakarta.
"Almarhum istri saya itu orang Kebumen," ujar kakek 3 cicit dari 3 anak itu.
Kakek Jusuf bercerita, tahun 1960-an, tak mudah hidup di ibu kota. Ekonomi kala itu, susah.
Di masa itu, krisis ekonomi pertama Indonesia setelah kemerdekaan. Harga barang melambung, sementara jumlah dan nomina uang beredar terlalu banyak. Hyperinflasi istilah pakar ekonominya.
Pas Jusuf muda tiba di Jakarta, Soekarno membuat kebijakan Sanering (pemotongan nilai mata uang).
Mata uang Rp1.000 di-sanering- jadi Rp1 rupiah. Harga beras 10 kg dulunya seribu jadi satu rupiah.
Tujuh tahun, merasakan getir ekonomi ibukota, Jusuf dan istri pun memutuskan ikut program transmigrasi Orde Baru.
Usia Jusuf kala itu, 38 tahun. semangat kerjanya membara. Dua anaknya butuh biaya, namun lahan pekerjaan terbatas.
"Tahun 1970 saya daftar transmigrasi. Lolosnya ke Seram, Maluku berangkat akhir tahun pakai kapal dari Priok." ujarnya.
Merujuk dokumen transmigrasi yang diperoleh Tribub, jika Jusuf berangkat akhir tahun 1970, dia termasuk satu dari 50 kepala keluarga (KK) transmigran Gelombang III 1970 dari Pulau Jawa ke Seram, pulau subur dan terbesar di gugus kepulauan Maluku.
"Kami ditempatkan di Kairatu, Seram Barat," ujanya.
Saat itu, kakek Jusuf bertransmigrasi ke Maluku.
"Saya di Maluku tinggal di Pulau Seram, namanya Desa Waihatu, Waitamal, Kecamatan Kairatu, Seram Bagian Barat," papar kakek Jusuf begitu mendetail.
Di Pulau Seram, kakek Jusuf membangun rumah tangganya.
Puluhan tahun di pulau orang, kakek Jusuf kembali ke Pulau Jawa pada tahun 2002.
Data rujukan Tribun lansiran Kemenparekraf, https://jadesta.kemenparekraf.go.id/desa/gemba_agro_kultur,
Transmigrasi Gelombang III berjumlah 50 KK.
Angkatan Pertama tiba tanggal 22 Januari 1971 berjumlah 38 KK, Gelombang III Angkatan II tanggal, 4 April 1971 berjumlah 12 KK, dan Transmigrasi Gelombang IV tanggal 2 Oktober 1972 berjumlah 100 KK.
Kini Kairatu, termasuk Desa Waimital, masuk desa wisata agro andalan Maluku.
Desa ini terletak sebelah barat dari wilayah Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Desa Waimital ada sejak tahun 1954, dari program transimigrasi umum era Orde Baru, jaman Soekarno.
Kedatangan transmigrasi di Waimital, sekitar 1.3 jam perjalanan laut dari Kota Ambon, terdiri beberapa Gelombang yakni Gelombang I tanggal 1 Oktober 1954 berjumlah 230 KK, Transmigrasi Gelombang II tanggal 15 Juli 1955 berjumlah 105 KK.
Desa Waimital terkenal juga dengan sebutan Gemba yaitu nama lapangan terbang pesawat tempur bangsa Jepang.
Desa Waimital terdiri dari empat dusun yaitu meliputi Dusun Tirtomulyo; yang terdiri dari 1 RW dan 5 RT, Dusun Sidodadi ; terdiri dari 1 RW dan 4 RT, Dusun Waimital ; terdiri dari 1 RW dan 6 RT dan Dusun Srimulyo; terdiri 1 RW dan 7 RT.
Desa serupa, kini jadi Kecamatan Wonomulyo, juga didirikan di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Presiden Soekarno awalnya punya ambisi besar dalam program ini. Seperti dijelaskan Rohani Budi Prihatin dalam tulisannya "Revitalisasi Program Transmigrasi" yang dimuat Jurnal Aspirasi (2013) pada tahun 1947, Sukarno punya target untuk memindahkan 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun.
Pada tahun 1951 target itu ditambahkan jadi 49 juta orang. Namun karena politik dan ekonomi saat itu tengah gonjang-ganjing, maka program transmigrasi "saat itu tidak memungkinkan," tulis Rohani.
Kegagalan program transmigrasi pada tahun 1950-an ini akhirnya menyadarkan pemerintah untuk membuat target yang lebih realistis. Pada tahun 1961-1969, pemerintah hanya menetapkan target 1,56 juta orang.
Pada kenyataannya, target itupun tidak terpenuhi karena total jumlah transmigran pada kurun waktu tersebut hanya 174.000 orang. Masih menurut Rohani, pencapaian tersebut bisa dibilang gagal. "Jika diukur dengan parameter kuantitatif, maka program transmigrasi antara tahun 1950-1960-an dapat dikategorikan gagal," sebutnya.
看看
Per 2018, menurut data Kemendes, program ini berhasil membangun 1.183 desa definitif di luar Pulau Jawa, 385 kecamatan, 104 kota/kabupaten, 48 kota terpadu mandiri, serta dua ibukota provinsi. Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara menjadi contoh keberhasilan transmigrasi, karena dua provinsi ini lahir dari adanya program tersebut.
--
Desa Waimital yang diambil dari kata Wail/Wai yang artinya Sungai dan Mital yang artinya Udang jadi Wailmital/Waimital yang artinya Sungai Udang atau sungai yang banyak udangnya.
Di Waimital itulah, selama 32 tahun Jusuf Sunardi, coba mensejahterakan keluarganya.
Konflik SARA awal tahun 2000-an, membuat Yusuf memutuskan kembali ke tengah Pulau Jawa.
Saat itu dia hanya bersama sang istri kembali ke Jawa.
Sedangkan ketiga anaknya yang sudah berkeluarga tetap tinggal di Pulau Seram.
"Saya sama istri pulang ke kampung istri di Kebumen, saat itu istri saya sakit dan enggak lama meninggal," ujar kakek Jusuf.
Setelah ditinggal sang istri, kakek Jusuf pun kembali ke Jakarta.
Di ibu kota, kakek Jusuf telah menjalani berbagai macam pekerjaan hingga akhirnya dia menjadi pengamen jalanan.
Ebes. Itu adalah nama panggilan kakek Jusuf di Jalan Sabang yang menjadi tempat dia mengamen hampir tiap harinya.
"Ebes itu artinya bapak kalau di
Di usia tuanya, kakek Jusuf pun mengungkapkan hasratnya yakni ingin bertemu dengan anak, cucu dan cicitnya yang saat ini tinggal di Maluku.
Kakek Jusuf kemudian menyebutkan nama anak dan cucunya.
Tiga anak kakek Jusuf yakni Susilo, Harun Ar rasyid dan Tutur Wiguno.
Sedangkan nama cucunya, kakek Jusuf menyebut ada Hamsah, Ramli, Uston dan Ismail.
Posturnya memang sedikit membungkuk, namun dia masih kuat bernyanyi puluhan lagu setiap malamnya sampai menjelang pagi. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.