Menyapa Nusantara

Mendidik Peserta Didik: dari Kompetisi ke Kontribusi

Anak-anak pun tumbuh dalam budaya "tampil hebat": dunia di mana menjadi yang terbaik dipamerkan, dikomentari, lalu dijadikan tolok ukur

Editor: Fandi Wattimena
ANTARA/ Ampelsa
Relawan Taman Edukasi Anak Cerdas mengajar anak dari keluarga pemulung di kawasan pemukiman Kampung Jawa, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (22/11/2025). Taman Edukasi Anak Cerdas yang mengajarkan pendidikan nonformal tersebut memiliki sekitar 70 murid yang berasal dari keluarga pemulung dan anak putus sekolah di daerah itu 

Pertama, menata ulang makna keberhasilan. Keberhasilan tidak boleh disempitkan menjadi urusan piala, ranking, atau sertifikat. Keberhasilan harus dipahami sebagai proses berkelanjutan: ketekunan, kemajuan, kemampuan refleksi, dan pembiasaan diri.

Penilaian formatif, rubrik perkembangan, serta umpan balik personal dapat mendorong murid melihat bahwa mereka sedang berlomba dengan dirinya sendiri—bukan dengan orang lain. Prinsipnya, hari ini diubah dari menjadi lebih baik dari kemarin, bukan lagi mengalahkan teman hari ini.

Kedua, membentuk kompetisi yang sehat dan bermakna. Kompetisi tetap diperlukan untuk melatih daya juang, namun semangatnya harus tepat. Kompetisi yang sehat menekankan pembelajaran, bukan dominasi.

Setelah lomba, guru perlu memfasilitasi refleksi: "Apa yang kupelajari?" bukan "Siapa yang kukalahkan?" Dengan begitu kompetisi memperkuat karakter, bukan menciptakan luka sosial yang tidak perlu.

Ketiga, memperkuat pembelajaran kolaboratif. Proyek-proyek kolaboratif --aksi lingkungan hidup, kampanye literasi, majalah sekolah, proyek kewargaan, hingga karya sains terapan-- menanamkan keyakinan bahwa keberhasilan adalah hasil kerja bersama. Murid belajar bahwa menjadi hebat berarti memberi manfaat, bukan menonjolkan diri.

Dalam kolaborasi, anak belajar mendengarkan, bernegosiasi, dan menyelesaikan masalah. Inilah bekal penting untuk hidup di era masyarakat yang saling terhubung.

Teladan guru

Perubahan orientasi pendidikan tidak mungkin berjalan, tanpa keteladanan guru. Guru yang menghargai usaha, tidak membandingkan murid, terbuka pada perbedaan, dan mampu bekerja sama dengan rekan sejawat, sedang menanamkan nilai moral yang lebih kuat daripada teori apa pun. Guru tidak hanya mengajar pengetahuan, melainkan memupuk karakter.

Dalam atmosfer kelas yang demikian, peserta didik tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, sekaligus rendah hati; berprestasi sekaligus peduli; kompeten sekaligus berempati.

Pendidikan yang memerdekakan bukanlah pendidikan yang menghilangkan kompetisi sepenuhnya, tetapi pendidikan yang menempatkan kompetisi pada posisi yang tepat. Murid tetap dapat berprestasi, tetapi mereka tidak mendasarkan harga dirinya pada pameran pencapaian. Mereka belajar menemukan makna, bukan sekadar mahkota kemenangan.

Sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan budaya pendidikan dari obsesi tampil hebat menuju kesediaan memberi kontribusi.

Ketika fokus berpindah dari kompetisi menuju kontribusi, murid tidak lagi terjebak dalam budaya perbandingan. Mereka tumbuh sebagai insan yang siap bekerja sama, peduli pada sesama, dan memiliki motivasi intrinsik untuk melakukan kebaikan.

Di tengah dunia yang mudah teralihkan oleh pertunjukan kehebatan, memilih untuk berkontribusi adalah tindakan sunyi, namun amat kuat. Di situlah pendidikan menjalankan tugas terdalamnya: membentuk manusia yang bukan hanya mampu, tetapi juga bermakna bagi kehidupan bersama.

 

Oleh Pormadi Simbolon 

Pormadi Simbolon adalah penulis buku "Mendidik dengan Iman dan Cinta", pemerhati isu pendidikan dan kebudayaan, alumnus pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved