Menyapa Nusantara
Mendidik Peserta Didik: dari Kompetisi ke Kontribusi
Anak-anak pun tumbuh dalam budaya "tampil hebat": dunia di mana menjadi yang terbaik dipamerkan, dikomentari, lalu dijadikan tolok ukur
TRIBUNAMBON.COM - Di era media sosial, kita seperti hidup di sebuah panggung tanpa tirai. Unggahan tentang ranking kelas, medali lomba, sertifikat webinar, hingga pencapaian kecil yang dibuat seolah spektakuler, membanjiri lini masa setiap hari.
Anak-anak pun tumbuh dalam budaya "tampil hebat": dunia di mana menjadi yang terbaik dipamerkan, dikomentari, lalu dijadikan tolok ukur nilai diri.
Pertanyaan penting perlu diajukan: apakah benar hidup harus dijalani sebagai ajang pamer keunggulan? Yuval Noah Harari dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa kita tidak dimaksudkan untuk terus-menerus mengalahkan orang lain.
Tujuan hidup bukanlah menjadi yang paling unggul, melainkan melakukan kebaikan itu sendiri. Kita belajar dan berkarya bukan agar tampak "lebih dari yang lain", tetapi agar memberi kontribusi bagi kehidupan bersama.
Dalam konteks pendidikan kita di Indonesia, pesan ini sangat relevan. Budaya kompetisi yang dangkal masih kuat: ranking diagung-agungkan, piala juara dipajang di lobi sekolah, dan keberhasilan murid kerap diukur dari intensitas tampilnya ia dalam foto, spanduk, atau seremoni. Padahal di baliknya, ada persoalan psikologis dan sosial yang kian mengemuka.
Hilangnya makna
Berbagai penelitian pendidikan menunjukkan bahwa orientasi belajar yang hanya menekankan kompetisi dapat memicu kecemasan, rasa takut gagal, dan hilangnya motivasi intrinsik.
Murid belajar bukan untuk memahami, tetapi untuk menghindari rasa malu. Teman sebaya yang seharusnya menjadi rekan belajar berubah menjadi lawan tak kasatmata yang harus dikalahkan.
Studi tentang kompetisi sekolah di Amerika Serikat dan Eropa (Himmler, 2009) menyimpulkan bahwa tekanan kompetitif memang dapat menumbuhkan peningkatan akademik di beberapa konteks, tetapi hasilnya kecil, tidak konsisten, dan sering memperlebar ketimpangan.
Sementara tinjauan Cantador dan Conde (2013) terhadap praktik kompetisi di pembelajaran daring menunjukkan fenomena serupa: capaian akademik yang meningkat tidak signifikan, sementara stres belajar meningkat.
Sebaliknya, sejumlah penelitian memperlihatkan hasil yang lebih meyakinkan dari pembelajaran kolaboratif. Laal dan Ghodsi (2012) menemukan bahwa kolaborasi memberikan manfaat sosial, psikologis, akademik, dan penilaian. Penelitian Siller dan Ahmad (2024) terhadap siswa kelas VI menunjukkan bahwa kelompok yang terlibat dalam pembelajaran kolaboratif memiliki prestasi matematika lebih tinggi dibandingkan kelompok yang belajar secara kompetitif.
Temuan Scager dan tim (2016) memperkuat hal itu dengan menunjukkan bahwa kolaborasi menciptakan ketergantungan positif yang meningkatkan hasil belajar dan kesehatan sosial-emosional peserta didik.
Artinya, ketika pendidikan terlalu menonjolkan "siapa pemenangnya", ia bisa kehilangan tujuan dasarnya: menumbuhkan manusia yang berkarakter, matang, dan siap bekerja sama menghadapi tantangan publik.
Menggeser fokus
Agar pendidikan kembali pada roh utamanya, saya mengusulkan tiga perubahan strategis yang dapat diterapkan sekolah dan guru.
Pertama, menata ulang makna keberhasilan. Keberhasilan tidak boleh disempitkan menjadi urusan piala, ranking, atau sertifikat. Keberhasilan harus dipahami sebagai proses berkelanjutan: ketekunan, kemajuan, kemampuan refleksi, dan pembiasaan diri.
Penilaian formatif, rubrik perkembangan, serta umpan balik personal dapat mendorong murid melihat bahwa mereka sedang berlomba dengan dirinya sendiri—bukan dengan orang lain. Prinsipnya, hari ini diubah dari menjadi lebih baik dari kemarin, bukan lagi mengalahkan teman hari ini.
Kedua, membentuk kompetisi yang sehat dan bermakna. Kompetisi tetap diperlukan untuk melatih daya juang, namun semangatnya harus tepat. Kompetisi yang sehat menekankan pembelajaran, bukan dominasi.
Setelah lomba, guru perlu memfasilitasi refleksi: "Apa yang kupelajari?" bukan "Siapa yang kukalahkan?" Dengan begitu kompetisi memperkuat karakter, bukan menciptakan luka sosial yang tidak perlu.
Ketiga, memperkuat pembelajaran kolaboratif. Proyek-proyek kolaboratif --aksi lingkungan hidup, kampanye literasi, majalah sekolah, proyek kewargaan, hingga karya sains terapan-- menanamkan keyakinan bahwa keberhasilan adalah hasil kerja bersama. Murid belajar bahwa menjadi hebat berarti memberi manfaat, bukan menonjolkan diri.
Dalam kolaborasi, anak belajar mendengarkan, bernegosiasi, dan menyelesaikan masalah. Inilah bekal penting untuk hidup di era masyarakat yang saling terhubung.
Teladan guru
Perubahan orientasi pendidikan tidak mungkin berjalan, tanpa keteladanan guru. Guru yang menghargai usaha, tidak membandingkan murid, terbuka pada perbedaan, dan mampu bekerja sama dengan rekan sejawat, sedang menanamkan nilai moral yang lebih kuat daripada teori apa pun. Guru tidak hanya mengajar pengetahuan, melainkan memupuk karakter.
Dalam atmosfer kelas yang demikian, peserta didik tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, sekaligus rendah hati; berprestasi sekaligus peduli; kompeten sekaligus berempati.
Pendidikan yang memerdekakan bukanlah pendidikan yang menghilangkan kompetisi sepenuhnya, tetapi pendidikan yang menempatkan kompetisi pada posisi yang tepat. Murid tetap dapat berprestasi, tetapi mereka tidak mendasarkan harga dirinya pada pameran pencapaian. Mereka belajar menemukan makna, bukan sekadar mahkota kemenangan.
Sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan budaya pendidikan dari obsesi tampil hebat menuju kesediaan memberi kontribusi.
Ketika fokus berpindah dari kompetisi menuju kontribusi, murid tidak lagi terjebak dalam budaya perbandingan. Mereka tumbuh sebagai insan yang siap bekerja sama, peduli pada sesama, dan memiliki motivasi intrinsik untuk melakukan kebaikan.
Di tengah dunia yang mudah teralihkan oleh pertunjukan kehebatan, memilih untuk berkontribusi adalah tindakan sunyi, namun amat kuat. Di situlah pendidikan menjalankan tugas terdalamnya: membentuk manusia yang bukan hanya mampu, tetapi juga bermakna bagi kehidupan bersama.
Oleh Pormadi Simbolon
Pormadi Simbolon adalah penulis buku "Mendidik dengan Iman dan Cinta", pemerhati isu pendidikan dan kebudayaan, alumnus pascasarjana STF Driyarkara Jakarta
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/ambon/foto/bank/originals/Taman-Edukasi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.