Menyapa Nusantara

Mendidik Peserta Didik: dari Kompetisi ke Kontribusi

Anak-anak pun tumbuh dalam budaya "tampil hebat": dunia di mana menjadi yang terbaik dipamerkan, dikomentari, lalu dijadikan tolok ukur

Editor: Fandi Wattimena
ANTARA/ Ampelsa
Relawan Taman Edukasi Anak Cerdas mengajar anak dari keluarga pemulung di kawasan pemukiman Kampung Jawa, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (22/11/2025). Taman Edukasi Anak Cerdas yang mengajarkan pendidikan nonformal tersebut memiliki sekitar 70 murid yang berasal dari keluarga pemulung dan anak putus sekolah di daerah itu 

TRIBUNAMBON.COM - Di era media sosial, kita seperti hidup di sebuah panggung tanpa tirai. Unggahan tentang ranking kelas, medali lomba, sertifikat webinar, hingga pencapaian kecil yang dibuat seolah spektakuler, membanjiri lini masa setiap hari.

Anak-anak pun tumbuh dalam budaya "tampil hebat": dunia di mana menjadi yang terbaik dipamerkan, dikomentari, lalu dijadikan tolok ukur nilai diri.

Pertanyaan penting perlu diajukan: apakah benar hidup harus dijalani sebagai ajang pamer keunggulan? Yuval Noah Harari dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa kita tidak dimaksudkan untuk terus-menerus mengalahkan orang lain.

Tujuan hidup bukanlah menjadi yang paling unggul, melainkan melakukan kebaikan itu sendiri. Kita belajar dan berkarya bukan agar tampak "lebih dari yang lain", tetapi agar memberi kontribusi bagi kehidupan bersama.

Dalam konteks pendidikan kita di Indonesia, pesan ini sangat relevan. Budaya kompetisi yang dangkal masih kuat: ranking diagung-agungkan, piala juara dipajang di lobi sekolah, dan keberhasilan murid kerap diukur dari intensitas tampilnya ia dalam foto, spanduk, atau seremoni. Padahal di baliknya, ada persoalan psikologis dan sosial yang kian mengemuka.

Hilangnya makna

Berbagai penelitian pendidikan menunjukkan bahwa orientasi belajar yang hanya menekankan kompetisi dapat memicu kecemasan, rasa takut gagal, dan hilangnya motivasi intrinsik.

Murid belajar bukan untuk memahami, tetapi untuk menghindari rasa malu. Teman sebaya yang seharusnya menjadi rekan belajar berubah menjadi lawan tak kasatmata yang harus dikalahkan.

Studi tentang kompetisi sekolah di Amerika Serikat dan Eropa (Himmler, 2009) menyimpulkan bahwa tekanan kompetitif memang dapat menumbuhkan peningkatan akademik di beberapa konteks, tetapi hasilnya kecil, tidak konsisten, dan sering memperlebar ketimpangan.

Sementara tinjauan Cantador dan Conde (2013) terhadap praktik kompetisi di pembelajaran daring menunjukkan fenomena serupa: capaian akademik yang meningkat tidak signifikan, sementara stres belajar meningkat.

Sebaliknya, sejumlah penelitian memperlihatkan hasil yang lebih meyakinkan dari pembelajaran kolaboratif. Laal dan Ghodsi (2012) menemukan bahwa kolaborasi memberikan manfaat sosial, psikologis, akademik, dan penilaian. Penelitian Siller dan Ahmad (2024) terhadap siswa kelas VI menunjukkan bahwa kelompok yang terlibat dalam pembelajaran kolaboratif memiliki prestasi matematika lebih tinggi dibandingkan kelompok yang belajar secara kompetitif.

Temuan Scager dan tim (2016) memperkuat hal itu dengan menunjukkan bahwa kolaborasi menciptakan ketergantungan positif yang meningkatkan hasil belajar dan kesehatan sosial-emosional peserta didik.

Artinya, ketika pendidikan terlalu menonjolkan "siapa pemenangnya", ia bisa kehilangan tujuan dasarnya: menumbuhkan manusia yang berkarakter, matang, dan siap bekerja sama menghadapi tantangan publik.

Menggeser fokus 

Agar pendidikan kembali pada roh utamanya, saya mengusulkan tiga perubahan strategis yang dapat diterapkan sekolah dan guru.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Baca Juga
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved