Ambon Hari Ini
Nobar di Ambon, Martison Siritoitet Ungkap Makna Film Mentawai: Soul of the Forest
Namun, poin terkuat dari film ini adalah pendekatan etnografinya yang dipadukan dengan rekaman arsip dan materi sejarah lainnya tentang masyarakat ada
Penulis: Maula Pelu | Editor: Fandi Wattimena
Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Maula M Pelu
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Film dokumenter "Mentawai: Soul of the Forest" jadi tontotan menarik di Balai Kota Ambon, Rabu (23/10/2024).
Menarik bukan karena berisi hiburan, melainkan ajakan untuk refleksi kritis akan pembangunan.
Diproduksi tahun 2019 dan diluncurkan 2022, film berdurasi 75 menit itu pernah meraih Special Jury Award di Kalimantan International Indigenous Film Festival (KIIFF) 2024.
Pantas saja, para peserta nobar dibuat terperangah menyaksikan pelan pergeseran budaya hingga nyaris hilang.
Pendekatan etnografi dan sejarah menjelaskan dengan mudah potert masyarakat, lingkungan serta adat istiadat.
“Film ini menggambarkan kehidupan sehari-hari suku asli Mentawai, kosmos spiritual mereka dan komitmen mereka untuk melestarikan budaya dan habitat alami mereka sendiri. Perusahaan pembalakan mengancam ekosistem pulau yang rentan. Rekaman dan bahan arsip bersejarah yang langkah menceritakan kisah penindasan selama puluhan tahun terhadap budaya asli, juga tentang ketahanan karakter utama dan suku terakhir yang tinggal di hutan,” kata inisiator dan collabotaor film project “Mentawai souls of the Forest” Martison Siritoitet saat ditemui TribunAmbon.com usai pemutaran film.

Baca juga: 7 Negeri di Ambon Belum Ada Raja Defenitif
Baca juga: Konferensi Internasional Resmi Digelar di IAKN Ambon
Diterangkan, film tersebut diporduksi dengan tujuan menginformasikan kekayaan budaya dan tradisi hingga keterpurukannya.
“Kami membuat film ini dengan tujuan untuk menginformasikan dalam bentuk karya media, tentang kekayaan budaya tradisi Indonesia dan khususnya Mentawai itu sendiri. Kemudian menceritakan historis Mentawai, diskriminasi dan pemberhanguskan adat dan kebudayaan di sana,” tambah Martison Siritoitet
“Saya berharap kita tetap mencintai akar rumput kita. Melestarikan kebudayaan kita di tengah modernitas yang masif,” tutupnya.
Serupa diungkapan Tracy Pasaribu selaku penyelenggara dari Lembaga Kemitraan.
Menurutnya, film ini dipertontonkan sebagai pemantik untuk melihat lebih jauh identitas budaya hingga kemudian berharap muncul kesadaran untuk bersama menjaga warisan leluhur itu.
“Kami dari Kemitraan hari ini hadir di Kota Ambon, bekerjasama dengan Bakti dan Rumah Generasi. Kami membawa film ini di ambon tujuannya berdiskusi untuk anak muda, bagaimana melihat identitas budaya,” tandasnya.
“Kami mendukung pemutar dalam film ini, karena merurut kami, film ini cukup baik dalam untuk mendukung ataupun mendorong bagaimana inklusifitas dalam pembangunan,” ujar perwakilan dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia, M. Ghufran.
Diketahui, pemutaran film ini terselenggara berkat kolaborasi Yayasan BaKTI, Kemitraan dan Yayasan Rumah Generasi.
Dihadiri berbagai komunitas dan kelompok masyarakat, diantaranya;
1. Pokja Inklusi
2. Forum Anak Kota Ambon
3. Forum Anak Desa/Negeri
4. Komunitas Tuli Maluku
5. Komunitas RVI Ambon Chapter
6. Sekolah Luar Biasa
7. Forum Disabilitas Desa Desa Nania
8. Forum Disabilitas Negeri Latuhalat
9. Pohon Sagoe Maluku
10. Konten Kreator
11. Film Maker
12. AMGPM Ranting 2 GATIK (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.