Maluku Terkini
RUU TPKS Sah Jadi Undang-undang, JMS Maluku; Wujud Keberpihakan Negara pada Korban
Koordiniator JMS Maluku, Lusi Peilow menilai, lahirnya UU TPKS ini merupakan wujud keberpihakan negara pada banyaknya korban kasus Kekerasan Seksual (
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Maluku mengapresiasi pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (12/4/2022) kemarin.
Koordiniator JMS Maluku, Lusi Peilow menilai, lahirnya UU TPKS ini merupakan wujud keberpihakan negara pada banyaknya korban kasus Kekerasan Seksual (KS).
"Kemarin kita semua menyaksikan satu peristiwa bersejarah gerakan perempuan Indonesia. Kehadirannya tidak terlepas dari perjuangan berbagai pihak mulai dari pendamping korban, komunitas, akademisi, organisasi masyarakat sipil, DPR RI, Pemerintah terutama juga para korban dan penyintas kekerasan seksual," ucap Lussie dalam Keterangan Pers yang diterima TribunAmbon.com, Rabu (13/4/2022) sore.
Perjalanan advokasi RUU PKS (nama awal, sebelum diganti menjadi TPKS pada agustus 2021) dimulai sejak 2015.
Baca juga: UU TPKS Atur Pelecehan Seksual Nonfisik, Pelaku Bisa Dipenjara 9 Bulan
Pada saat itu Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan dan Komnas Perempuan mulai mendorong negera menerbitkan kebijakan untuk melindungi korban.
Hal ini didasarkan pada pendokumentasian kasus oleh FPL selama 10 tahun yang menunjukan kasus kekerasan seksual sulit diproses hukum.
Pada 2016, FPL sebagai penggagas, mendorong DPR memasukan RUU PKS ke dalam Prolegnas. Selanjutya FPL tidak lagi sendiri mengawal proses legislasi.
Pada 2018 lahirlah JMS.
Kemudian, pada Januari 2022, lahir Jaringan Pembela Korban Kekerasan Seksual yang juga turut melakukan advokasi.
RUU PKS pada 2020 masuk dalam Prolegnas, namun DPR sama sekali tidak melakukan pembahasan, dan kemudian 2021 kembali masuk Prolegnas dan dilakukan pembahasan dan pembahasan lanjutan pada 2022 secara intensif dan selesai pada 6 April 2022.
UU TPKS merupakan contoh baik dari kerja bersama antara Masyarakat sipil, pemerintah dan Parlemen dalam menghasilkan sebuah Undang-undang.
Baca juga: Ini 9 Jenis Kekerasan Seksual yang Diatur dalam UU TPKS
Maka dari itu, lanjut dia, FPL, JMS dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi Panja RUU TPKS Baleg RI yang menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS dengan memberi ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan.
"Kami juga mengapresiasi Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi. Tim Sinkronisasi dan Tim Perumus Panja RUU TPKS yang progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual," sebutnya yang juga merupakan aktivis perempuan di Maluku itu.
FPL dan JMS mencatat hal penting sebagai capaian.
RUU TPKS telah memasukan 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu:
- Pelecehan seksual non-fisik;
- Pelecehan seksual fisik;
- Pemaksaan kontrasepsi;
- Pemaksaan sterilisasi;
- Pemaksaan perkawinan;
- Kekerasan seksual berbasis elektronik;
- Penyiksaan seksual;
- Eksploitasi seksual; dan
- Perbudakan seksual.
Masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban KS.
Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu.
Adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: Dipredisi Jumlah Pengaduan Naik, Komnas Perempuan; Korban Merasa Dikuatkan dengan UU TPKS
Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.
Adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.
Adanya ketentuan yang melarang pelaku KS untuk mendekati Korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban KS agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku.
Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping.
"Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban," lanjutnya.
Meski banyak capaian, RUU TPKS tetap menyisakan Pekerjaan Rumah.
Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS.
Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP.
Menjadi Pekerjaan Rumah juga bagi FPL dan JMS untuk mengawal RUU KUHP.
"Pekerjaan Rumah FPL dan JMS selanjutnya adalah melakukan advokasi pembentukan peraturan-peraturan turunan dari UU TPKS. Artinya, setelah diberlakukan, implementasi UU ini perlu terus dikawal agar berjalan dengan baik oleh pemerintah sesuai mandatnya serta menjawab hakekat dan tujuan lahirnya UU TPKS. Di daerah, lembaga organisasi masyarakt sipil yang tergabung dalam FPL dan JMS siap bermitra dengan Pemerintah Daerah," pungkasnya.(*)