‘My Period’ Sebuah Karya Terobos Tabu Menstruasi di Ambon

Seniman Tari dan Koreografer asal Ambon, Peraih Hibah Seni Kategori Inovatif, Theodora Melsasail menerobos ketabuan tentang menstruasi di Ambon

Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Kontributor TribunAmbon.com/Adjeng
Seorang Seniman Tari dan Koreografer asal Ambon, Peraih Hibah Seni Kategori Inovatif, Theodora Melsasail menerobos ketabuan tentang menstruasi di Ambon melalui karyanya yang diberi judul ‘My Period’. 

Laporan Kontributor TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

TRIBUNAMBON.COM - Setiap perempuan memiliki pengalaman pertama kali menstruasi yang berbeda-beda.

Kebanyakan dari mereka juga melewatinya dengan rasa takut, kikuk, bahkan diasingkan dari lingkungan.

Hal ini pun masih dianggap tabu, pasalnya kebanyakan perempuan masih merasa malu untuk terang-terangan membicarakannya.

Seorang Seniman Tari dan Koreografer asal Ambon, Peraih Hibah Seni Kategori Inovatif, Theodora Melsasail menerobos ketabuan tentang menstruasi di Ambon melalui karyanya yang diberi judul ‘My Period’.

Baca juga: Pemkot Ambon Tandatangani Perwali Tentang Program Menabung Sejak Dini KEJAR

Baca juga: Pasar Sementara di Ambon Sepi, Hanya 7 dari 150 Lapak yang Ditempati Pedagang

Berawal dari pengalaman pribadinya yang merasa tidak siap ketika pertama kali menstruasi, perempuan berusia 24 tahun ini mengaku tidak memiliki pemahaman yang mumpuni tentang siklus biologis itu.

Edukasi tentang menstruasi yang harusnya menjadi hal lumrah malah tabu di lingkungan keluarganya yang masih memegang kepercayaan tradisi ketabuan terhadap tubuh anak perempuan.

Berada di lingkungan yang menganggap bahwa darah seorang anak perempuan adalah sesuatu yang sakral dan tidak pantas dibicarakan di ruang publik atau bahkan di rumah, menjadi sesuatu yang tak menyenangkan bagi dirinya.  

Hal ini kemudian dikorelasikan perempuan muda yang biasa disapa Theo itu dengan salah satu tradisi lokal suku Naulu di Maluku yang disebut tradisi Pinamou.

Pengasingan

Pinamou sendiri merupakan sebuah tradisi pengasingan perempuan ketika mengalami menstruasi pertama.

Perempuan yang ketika datang bulan untuk pertama kalinya akan dimasukan ke dalam sebuah rumah kecil, berlantai bambu dan atapnya terbuat dari daun sagu.

Rumah pengasingan itu disebut rumah Posune.

Selama menjalani masa menstruasi pertama kali di rumah posune, seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk keluar dan berinteraksi dengan siapapun.

Kecuali satu orang perempuan dewasa yang ditugaskan untuk mengurusnya selama diasingkan.

Semua aktivitas sehari-hari dilakukan di dalam rumah berukuran 2x2 itu, seperti makan, minum, mandi, dan sebagainya.

Hal ini dilakukan karena suku Naulu percaya bahwa darah menstruasi dinilai sebagai sesuatu yang kotor dan najis, bisa mencemari lingkungan serta membawa kutukan.

Baca juga: DPRD Kota Ambon: Pantau Kinerja Pemkot, Buka Posko Pengaduan Jaring Pengaman Sosial

Dasar pemikiran inilah yang diambil Theo untuk membuat karya ‘My Period’.

Berbeda dengan tradisi Pinamou yang hingga kini masih dijalankan oleh Suku Naulu.

Karya seni tari dan tentang menstruasi di Ambon melalui karyanya yang diberi judul ‘My Period’.
Karya seni tari dan tentang menstruasi di Ambon melalui karyanya yang diberi judul ‘My Period’. (Kontributor TribunAmbon.com/Adjeng)

Di mana para perempuan yang lahir di lingkungan modern seperti di Kota Ambon mengalami siklus biologis untuk pertama kalinya dan pengalaman seperti apa yang mereka lewati setiap kali ‘datang bulan’.

Berdasarkan hasil observasi yang  dilakukan Theo terhadap 28 orang di Kota Ambon, terdiri dari perempuan dan laki-laki menunjukkan sebanyak 80 persen dari mereka masih menganggap menstruasi sebagai hal yang tabu.

Menurutnya, para perempuan juga sering mendapatkan penolakan dan diasingkan dari lingkungan akibat perubahan respon fisik dan mental ketika mengalami menstruasi.

“Bagi saya, dengan mereka berani menjawab dan bercerita tentang pengalaman mereka adalah salah satu cara sederhana untuk melawan tabu menstruasi, bahkan karya ini hadir untuk gerakan kecil yakni melawan tabu menstruasi,” ucap Theo, peraih Jujaro Innovation itu.

Founder Theo Dance Family itu kemudian memilih tari sebagai media untuk mendobrak ketabuan dan untuk mengedukasi masyarakat luas tentang isu menstruasi.

Menurutnya, tari merupakan jembatan yang tepat untuk menyampaikan sebuah materi atau isu ke masyarakat luas.

Dalam tarian yang ditampilkan, Theo mengekspresikan respon tubuh perempuan ketika mengalami dismenore atau nyeri haid atau kram di perut bagian bawah, sebelum atau sewaktu menstruasi.

Pada sebagian perempuan dismenore dapat bersifat ringan, namun pada sebagian lain, dismenore bisa berlebihan hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.

“Satu kata tentang menstruasi yaitu menyengsarakan, karena hampir setiap bulan saya pasti mengalami demam. Sakit di area punggung hingga area vagina mengalami kram,” Begitulah respon salah satu dari 28 orang yang diwawancarai Theo.

Dance Dismenore

Menciptakan gerakan dance dismenore bukanlah hal yang sulit bagi Theo.

Diambil dari pengalaman pribadinya dan pengalaman berbeda yang dirasakan para perempuan lainnya yang ia temui, ia bisa dengan mudah menarikan respon tubuh ketika perempuan mengalami dismenore.

Seperti menekan-nekan perut, mengangkat kaki sejajar dengan dinding, melompat-lompat, menungging, hingga mengangkang.

Baca juga: Protes Sistem Ganjil-Genap, Sopir Angkot Serbu DPRD Ambon : Dishub Kota & Provinsi Beda Aturan

Dalam tarian itu, ia menggunakan sebuah wadah tradisional yang disebut sempe untuk mengisi cairan berwarna merah yang menggambarkan sebagai darah menstruasi.

Kemudian, direspon dengan menggunakan rambutnya sebagai kuas dan disapu ke dinding dan lantai berwarna putih.

“Tarian ini sebagai bentuk bahwa perempuan sedang memutuskan untuk berani berbicara tentang menstruasi, dan saya hadir dengan keadaan tubuh seperti ini dan saya bangga saat mengalami menstruasi."

"Jadi, ketika rambut saya merespon dan menyapu ke warna putih berarti perempuan mengambil sebuah keputusan untuk berhenti malu dan ketakutan saat menstruasi, terutama saat bocor di tempat umum,” tutur perempuan yang sering mengedukasi masyarakat lewat tariannya itu.

Selain pertunjukan tarian, Theo juga menggelar pameran di awal karya My Period.

Berbagai kutipan-kutipan menarik yang diangkat dari hasil observasinya terhadap beberapa perempuan yang bercerita pengalaman mereka ketika menstruasi.

Ragam kutipan itu ditempel pada pembalut dan di pajang di ruang-ruang publik.

Pameran juga digelar secara daring yang menampilkan foto-foto dirinya dengan mengusung tema dismenore.

Selanjutnya ada video reaksi yang menangkap air muka dan respon warga ketika melihat Theo berjalan di ruang-ruang publik dengan celana putih bernoda merah di bagian bokongnya.

Dari eksperimen itu, Theo mengaku hanya satu laki-laki dan tiga perempuan yang langsung menghampirinya dan memberitahu keadaannya saat itu.

Selebihnya hanya menganga terheran-heran dan ada yang bahkan tak peduli sama sekali. Pembacaan text dalam bahasa daerah Suku Naulu juga tak luput meramaikan project My Period.

Masing-masing karya ditunjukan secara live di Instagram dan Facebook pribadinya. Sementara keseluruhan karya akan diluncurkan secara resmi di YouTube channel Yayasan Kelola selaku inisiator atau pemberi hibah.

Theo berharap, karya ini bisa dijadikan sebagai bahan edukasi agar perempuan mampu mengenali dan menerima keadaan tubuhnya, tidak merasa ditolak atau bahkan diasingkan oleh lingkungannya. (*)

Tonton Juga :

Sumber: Tribun Ambon
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved