VIRAL Gedung DPR Dijual Murah di Marketplace, Kritik Masyarakat Buntut Pengesahan UU Cipta Kerja
Sejumlah aplikasi marketplace di Tanah Air dikejutkan dengan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menjual Gedung DPR p.
"Ekspresi tersebut terlihat sangat sarkastis tetapi mungkin saja ini fakta sesungguhnya yang dirasakan publik saat ini. Kekecewaan luar biasa yang berujung pada tergerusnya kepercayaan publik pada DPR," kata Lucius kepada Kompas.com, Rabu malam.
Menurut dia, ada problematikan pada sistem relasi antara masyarakat dan anggota dewan yang diatur di dalam sistem ketatatanegaraan di Indonesia.
Ketika ada anggota dewan yang dinilai tidak benar dalam menjalankan tugasnya, publik yang kecewa tak bisa menghukum anggota dewan tersebut dengan menarik mandat yang diberikan secara langsung.
"Sistem ketatanegaraan kita menyediakan kanal pemilu sebagai satu-satunya cara bagi rakyat untuk bisa memberikan apresiasi dan hukuman bagi kerja anggota DPR. Mekanisme ini membuka ruang yang leluasa bagi DPR untuk bisa sewenang-wenang dalam bekerja dan membuat kebijakan," ujarnya.
• Ida Fauziyah Tulis Surat Terbuka ke Buruh yang Mogok Kerja, Bacalah Secara Utuh UU Cipta Kerja
• Kemenkeu Bersyukur UU Cipta Kerja Disahkan DPR: Kita Membutuhkan Dunia Usaha yang Berkembang
"Toh seburuk apapun kebijakan yang diputuskan, RUU yang dihasilkan, paling banter rakyat hanya bisa demo, maki-maki di media sosial, dan ekspresi kekecewaan lain seperti aksi menjual Gedung DPR di toko online. Semua itu tak mampu untuk sampai pada tahap menghukum langsung anggota yang tidak memperjuangkan kepentingan publik dengan menarik mandat dari anggota," imbuh dia.
Namun, lain halnya dengan relasi antara anggota dewan dengan partai politik pengusungnya.
Parpol memiliki kekuasaan yang tinggi untuk mengatur anggota dewan.
Sehingga, ketika ada anggota yang tidak tunduk dengan instruksi parpol atau fraksi, mereka dapat diganti sewaktu-waktu atau dimatikan karier politiknya.
"Itulah kemewahan mereka. Kita tak bisa mengharap pada DPR untuk melahirkan regulasi yang bisa memuaskan rakyat dengan kewenangan rakyat untuk menghukum anggota di tengah masa jabatan. Mereka pasti tak akan rela kemewahan kekuasaan mereka terganggu oleh aturan yang dibuat sendiri," kata Lucius.
"Maka model-model perlawanan sampai pada levelnya yang paling sarkastis bisa dilihat sebagai ekspresi dari kebuntuan dan ketidakberdayaan rakyat atas kekuasaan parlemen yang dalam kasus RUU Cipta Kerja bersekongkol dengan pemerintah untuk meminggirkan rakyat dari lintasan pembahasan," lanjut dia.
Lucius menambahkan, para anggota DPR seharusnya dapat melihat bahwa aksi jual Gedung DPR sebagai sebuah pesan moral kepada mereka agar mandat yang diberikan rakyat harus dipertanggungjawabkan.
Para anggota dewan tak perlu menunggu pemilu untuk membuat pertanggungjawaban.
Sebab, pada umumnya pemilu menjadi ajang pencitraan di mana kebenaran kerap disembunyikan agar mereka terpilih kembali.
"Pertanggungjawaban kepada rakyat harus dilakukan secara jujur agar rakyat tetap percaya kepada DPR. Pertanggungjawaban secara berkala adalah bentuk tuntutan etis DPR kepada rakyat," tutupnya.
(Kompas.com/Dani Prabowo)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gedung DPR Dijual, Kritik Sarkastis Publik atas Disahkannya UU Cipta Kerja".