Virus Corona di Ambon
5 Kisah Pahlawan Pendidikan Maluku Masa Kini di Tengah Pandemi Covid-19
Sosok pejuang merdeka belajar ini dirangkum TribunAmbon.com untuk memperingati Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia.
Laporan Kontributor TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea
TRIBUNAMBON.COM - Sejak awal kemunculan covid-19 di Maluku pada Maret 2020 lalu, sejumlah sekolah maupun perguruan tinggi terpaksa ditutup dan proses belajar-mengajar dialihkan ke metode pembelajaran daring.
Lajunya penyebaran virus corona ini membuat Pemerintah Daerah kembali memperpanjang kebijakan tersebut secara bertahap.
Satu di antara dampak pandemi covid-19 terhadap dunia pendidikan yang paling terlihat hingga saat ini yaitu keefektifan proses belajar-mengajar.
Nyatanya, sistem penerapan metode ini masih sulit diakses oleh sebagian besar siswa di Maluku.
• Perpustakaan Hatukau Ambon Diresmikan, Sebelumnya Sempat Jadi Tempat Isolasi Pasien Covid-19
Jikalau mampu diakses pun tak semua dari mereka mampu memahami dan beradaptasi dengan metode baru ini.
Menghadapi tantangan hak setiap warga negara agar bisa mengakses dan memperoleh pendidikan sebagaimana yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1), di tengah pandemi covid-19, ada sejumlah sosok di Timur Indonesia yang dengan suka rela berjuang mencerdaskan anak bangsa.
Sosok pejuang merdeka belajar ini dirangkum TribunAmbon.com untuk memperingati Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia.
Berikut 5 Pahlawan Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19 Dari Timur Indonesia, Maluku;
1. Lely Hendrikus (26): Komunitas Peduli Literasi

“Sering kali saya melihat adik-adik main games menggunakan HP (Gawai). Kebetulan hobi saya membaca, saya ingin menularkan kebiasaan membaca ke adik-adik di kampung saya. Kalau bukan kami siapa lagi? Apalagi di tengah covid-19 saat ini, jam belajar anak tidak terkontrol dan kurang diawasi oleh orang tua. Jadi saya pikir kita bisa membuat satu gerakan untuk mengembalikan budaya membaca untuk mereka,” tutur Lely Hendrikus, seorang lulusan Ilmu Pendidikan di Universitas Pattimura ketika ditanya motivasinya membuat kelas Peduli Literasi bersama keempat kawannya.
Lely menuturkan, setiap kali melewati lorong-lorong di kawasan tempat ia tinggal tepatnya di Dusun Lata, RT 023/006, Hative Besar, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, dia menemukan pemandangan yang sama hampir setiap harinya, terutama sejak merebaknya pandemi covid-19 di Kota Ambon.
Menurutnya, kebijakan Pemerintah Kota untuk mengalihkan proses belajar-mengajar di rumah secara online tentu saja dirasa tidak efektif.
• Belajar dari Jawa Barat, Pemkot Ambon Dorong PSBB Tingkat Desa Tangani Covid-19
Jam belajar anak yang tidak dipantau oleh orang tua, disebut Lely sebagai salah satu alasannya.
Untuk itu, Lely berisiatif untuk merubah kebiasaan anak di lingkungannya dengan meningkatkan kecintaan mereka terhadap membaca.
Bersama dengan empat kawannya yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, mulai dari tamatan SMA hingga perguruan tinggi.
Mereka kemudian membentuk Komunitas Peduli Literasi.
Tujuannya, kata Lely, tentu saja untuk meningkatkan minat baca para siswa-siswi di Dusun Lata.
“Kami punya dua kelas. Pertama, kelas membaca. Di sini kami menyiapkan artikel, kami rangkum kemudian kami jadikan bahan ajar untuk anak-anak usia 8 hingga 13 tahun. Ada beberapa metode yang kami gunakan untuk mengajar kelas ini, di antaranya metode skimming and scanning dan 5W1H. Kedua, kelas membaca dan menulis. Kelas ini diperuntukan bagi siswa level Paud dan SD kelas 1,” jelas Lely.
Lely menambahkan, setiap kelas memiliki siswa 10 hingga 15.
Mereka hendak membuka satu kelas baru, yaitu kelas membaca ringan, karena kelas literasi kini sudah mulai banyak yang minati di dusun tersebut.
Gerakan Lely bersama kawan-kawannya ini disambut baik oleh orang tua mereka terutama orang tua para siswa.
Setidaknya, meringankan sedikit kesulitan para orang tua yang menjadi guru dadakan selama pandemi.
Untuk persiapan materi pembelajaran, para relawan ini harus patungan, mulai dari membeli kertas hingga menyiapkan alat printer.
Beruntung, salah satu relawan memiliki rumah dengan halaman yang luas yang bisa digunakan untuk masing-masing kelas, jadi mereka tak perlu menyewa gedung.
Lely menyebutkan, salah satu kendala yang dihadapi yakni meramaikan kelas literasi ini.
Kata dia, belum semua anak di Dusun Lata terdaftar di kelas literasi.
Selain itu, ketersediaan materi ajar, biasanya materi diambil dari internet, namun Lely berharap bisa memperoleh referensi untuk masing-masing kelas.
“Semoga kesadaran mereka tentang pentingnya memiliki kemampuan literasi ini meningkat dan menjadikan budaya membaca dalam aktivitas sehari-hari jika perlu sebagai lifestyle mereka. Kami juga menerapkan kebiasaan tepat waktu,”
Selain belajar tentang literasi, Lely juga mengajarkan pentingnya disiplin menggunakan waktu.
Dari situ mereka akan sadar pentingnya menghargai waktu.
“Karena bagi saya, tepat waktu itu merupakan integritas diri yang harusnya diterapkan sejak dini. Itu akan menjadi sebuah budaya yang baik bagi mereka, disamping memiliki budaya membaca mereka juga punya integritas diri yang lebih baik. Jadi, berapa pun anak yang datang, kami tetap memulai kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan,” ujar Lely.
2. Siti H. Tuanaya (46): Wifi Gratis untuk Siswa

Kesulitan mengakses internet dirasakan juga oleh sebagian besar siswa di Kota Ambon.
Tak sedikit dari mereka yang mangkir dari kelas daring dengan alasan tidak memiliki kuota internet.
Tingginya tarif internet membuat sebagian besar orang tua harus menyerah untuk proses belajar anak, terutama bagi mereka yang memiliki penghasilan rendah.
Hal ini lah yang menjadi alasan Pejabat Lurah Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Siti H. Tuanaya membuka akses WiFi gratis kepada siswa-siswi di kelurahan tersebut yang membutuhkan koneksi internet bisa langsung mendatangi kantor lurah.
“Ada dua jaringan WiFi di kantor kami. Pertama yang difasilitasi oleh Pemkot, digunakan untuk layanan masyarakat berbasis elektronik. Kemudian yang satunya lagi kami pasangkan agar bisa digunakan oleh siswa-siswi yang kesulitan mengakses internet. Awalnya Cuma 10 Mbps, namun kami naikan menjadi 20 Mbps, karena yang akses pasti banyak,” Tutur Tuanaya.
• Puluhan Mahasiswa IAIN Ambon Minta Keringanan Uang Kuliah 50 Persen
Sejak dibukanya akses Wifi gratis, Tuanaya merubah sedikit tampilan kantor Lurah Batu Meja dengan mengangkat konsep perpustakaan.
Meja berukuran panjang didesain dengan pembatas plastik dan dibuat berjarak layaknya bilik. Jadi, masing-masing siswa tak akan merasa terganggu dengan siswa lain ketika belajar.
Hal ini sekaligus mempraktekan penerapan protokol kesehatan kepada warga, terutama anak-anak.
Selain itu, disediakan dapur yang bisa digunakan oleh para siswa. Ada aneka minuman dan snack yang bisa didapatkan di sana.
Aktivitas belajar di kantor kelurahan ini dipantau oleh tim gugus tugas.
Mereka akan mengontrol setiap pergerakan anak, ditakutkan ada yang main game selama jam belajar.
Jika ada kesulitan yang ditemui dalam proses belajar, para siswa bisa meminta bantuan dari tim gugus tugas.
“WiFi gratis ini diperuntukan bagi warga Kelurahan Batu Meja yang tidak mempunyai layanan internet di rumah, silahkan ke kantor. Tapi, banyak dari luar kelurahan yang kontak saya secara langsung untuk bisa datang dan menikmati layanan gratis ini,” ucap dia.
Dia mengaku terinspirasi dari Wali Kota Ambon, Richard Louhanapessy yang selalu mengajak pimpinan-pimpinan di berbagai tingkatan di Kota Ambon untuk selalu bekerja dengan mengemukakan hati nurani.
“Pak Wali selalu mengingatkan kami untuk bagaimana bisa memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat di masa kritis pandemi covid-19 ini,” terang dia.
Untuk mensosialisasikan bilik WiFi gratis ini kepada masyarakat, pihaknya mencetak sebanyak delapan (8) buah spanduk yang disebar tujuh RW dan satu lainnya dipasangkan di depan kantor.
Spanduk tersebut berisikan pengumuman dan ajakan kepada siswa-siswi untuk mendatangi kantor Kelurahan Batu Meja agar bisa mengakses layanan gratis tersebut. Bilik wifi dibuka setiap hari kerja dari pukul 07.00 WIT hingga pukul 18.00 WIT.
3. Harun Al-Rasyid Hayoto (29): Mendaki Sembari Mengajar

Berangkat dari hobi mendaki gunung dan kecintaannya terhadap alam, seorang pemuda yang biasa disapa Rasyid ini menyaksikan bagaimana anak-anak yang hidup di kawasan kaki gunung tertinggi di Provinsi Maluku, yakni Binaya yang letaknya di lingkup Taman Nasional Manusela itu jauh dari pemenuhan hak mendapatkan pendidikan seperti yang diatur dalam Undang-Undang.
Akses ke sekolah yang jauh, memakan waktu dan sulit ditempuh, belum lagi persoalan ekonomi membuat anak-anak di beberapa dusun maupun desa di sekitar kawasan kaki gunung itu harus terkurung dengan dunia mereka masing-masing.
Setelah menyaksikan kondisi tersebut, Rasyid yang merupakan lulusan Hukum Pidana Islam di Institut Agama Islam Negeri Ambon itu mengaku, setiap pendakian yang ia lakukan setidaknya ada hal bermanfaat yang ia tinggalkan untuk anak-anak yang di sana.
Mengajak mereka untuk belajar sambil bermain di alam pun dilakukan Rasyid sejak tahun 2015.
• Mako Brimob di Ambon Sediakan Internet Gratis Untuk Pelajar di Tengah Pandemi Covid-19
“Saya ingin membagi ilmu dengan anak-anak di sana, karena yang saya saksikan hampir sebagian besar anak tidak mampu mengakses pendidikan secara formal. Menurut saya, untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya melalui jalur formal saja. Siapapun bisa berbagi ilmu dengan mereka,” ucapnya.
Ada tiga desa atau dusun yang sudah disinggahi oleh Rasyid.
Di antaranya Desa Manusela, Maraina dan Dusun Usali.
Ada dua jalur yang ditempuh agar bisa tiba di masing-masing desa, yakni melalui pantai Utara (Wahai) dan Pantai Selatan (Hatumete).
Menurutnya, pendakian paling jauh yaitu menuju ke Desa Manusela.
Dia membutuhkan tiga hari agar bisa tiba di desa tersebut, dan paling sedikit hanya dua jam pendakian.
Setibanya Rasyid di masing-masing desa, setidaknya dia menghabiskan tiga (3) hingga tujuh (7) hari agar bisa mengajarkan cara membaca dan menulis.
“Banyak dari mereka yang masih tidak bisa membaca. Bahkan ketika ditanya berapa usia mereka, saya diminta untuk memprediksi usia salah satu pohon di sekitar rumah mereka yang dipastikan tumbuhnya bersamaan dengan orang tersebut."
"Sementara untuk level SD, mereka belum bisa membaca dengan lancar. Bersyukur di Desa Manusela dan Maraina itu masing-masing punya Sekolah Dasar, tapi di Dusun Usali tidak ada,” kata Rasyid yang juga aktif di berbagai organisasi kepemudaan itu.
Rasyid menyebutkan selain tujuannya agar anak-anak di daerah terpencil ini bisa mendapatkan pendidikan yang layak, aksinya itu juga menjadi kritik terhadap Pemerintah.
“Bahwa bicara soal kemerdekaan dan pembangunan Negara Indonesia itu bukan dilihat dari kemajuan di daerah perkotaan saja, tapi dilihat juga dari seberapa berkembangnya orang-orang di daerah-daerah terpencil, itulah ukuran kesejahteraan masyarakat bisa dilihat dari situ,” tegas dia.
Dia berharap, Pemerintah juga bisa memperhatikan masyarakat yang berada di kaki gunung Binaya kawasan Taman Nasional Manusela itu agar mereka bisa mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara Republik Indonesia, baik dari sisi pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan lainnya.
4. Nengsih Keledar (28): Rumah Baca

Sebagai seorang Guru Honorer di SMP IT ALBINA Masohi sejak 2018, Nengsi merasa prihatin melihat waktu belajar anak yang tidak teratur sejak dialihkan kelas tatap muka menjadi kelas online akibat pandemi covid-19.
Dia menilai kelas online sama sekali tidak efektif meski sebagai guru ia telah mengupayakan yang terbaik.
“Ada anak-anak yang serius mengikuti kelas ada juga yang nyatanya cuman bermain saja, asalkan dipinjami hp sama orang tua,” ucap Negngsi kepada TribunAmbon.com ketika dihubungi melalui telepon seluler.
Dia menuturkan, suasana pendidikan yang tidak sehat ini diperburuk dengan kondisi lingkungan yang tidak bisa mengontrol aktivitas anak selama di rumah.
Anak-anak yang dilengkapi dengan fasilitas elektronik, seperti gawai lebih asyik menggunakannya sebagai alat untuk bermainan permainan atau games.
Nengsih mengaku jika keadaan ini terus-terusan dibiarkan, maka minat dan pengetahuan anak-anak semakin terkikis.
• Belajar dari Jawa Barat, Pemkot Ambon Dorong PSBB Tingkat Desa Tangani Covid-19
Oleh karena itu, dia berkomitmen untuk membuka kembali Rumah Baca yang yang sempat ditutup untuk sementara akibat virus corona.
Dengan menggunakan salah satu ruangan di rumahnya yang berada di RT 07 Kelurahan Lesane, Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, anak-anak yang berada di kawasan Kota Masohi bisa memperoleh pendidikan gratis.
“Tetap kami menerapkan protokol kesehatan. Ada pojok cuci tangan yang kami sediakan, anak-anak juga kami atur jarak duduknya, meski beberapa dari mereka ada yang tidak memakai masker ketika mengikuti kelas,” jelas relawan pendidikan di Maluku Tengah ini.
Nengsih mengaku, dirinya tak sendiri mengisi kelas di Rumah Baca ini.
Dia dibantu oleh kedua teman relawan lainnya, yakni Yati dan Qomar.
Ada beberapa mata pelajaran yang diajarkan, di antaranya pelajaran Matematika, Bahasa Inggris dan Ilmu Agama Islam.
Para relawan ini mengajar secara bergantian setiap Senin hingga Jumat, setiap pukul 19.00 WIT.
Selain menyediakan ruang belajar, Nengsih juga memberikan akses WiFi gratis agar para siswa bisa mengikuti kelas online sambil dipantau oleh dirinya.
Bahkan, bagi siswa yang tidak memiliki ponsel pintar, anggota keluarga lain di kediaman Nengsih akan dengan suka rela meminjamkan gawai mereka, dengan catatan anak-anak menggunakannya sesuai dengan keperluan mereka.
“Keluarga di rumah sangat mendukung kegiatan saya ini. Mulai dari Ibu saya, kakak laki-laki saya yang bersedia jaringan Wifi nya diakses tanpa harus bayar, belum lagi hpnya dipake anak-anak untuk belajar,” ucap Nengsih penuh syukur memiliki keluarga yang suportif.
Dia mengungkapkan, secara pribadi, dirinya tidak merasa ada tantangan yang berarti.
Hanya saja jika dilihat dari sisi anak-anak, banyak hal yang perlu dilakukan.
Dia menuturkan, suatu ketika didatangi oleh orang tua siswa yang menitipkan anaknya di Rumah Baca agar bisa tetap belajar meski di kondisi sulit.
“Ada salah orang tua siswa yang mendatangi saya untuk menitipkan anaknya, sambil berkata ‘nanti kalau ada rejeki dari hasil penjualan batako pasti saya usahakan untuk membeli hape agar anak saya bisa ikut kelas online’."
"Mendengar pengakuan orang tua murid waktu itu membuat saya bersedih,” kenang Nengsih dengan suara bergetar dari balik telpon.
Dia berharap, masyarakat bisa patuh menjalankan protokol kesehatan agar pandemi ini segera berakhir.
Aktivitas pendidikan kembali normal, begitu juga orang-orang segera pulih dari sakit.
Menurutnya, pandemi covid-19 ini adalah penyeleksi alam untuk melihat mana saja orang-orang yang serius terhadap kualitas pendidikan dan kesehatan di Negara ini.
Ada sekian banyak guru honorer di luar sana yang dipotong gajinya akibat pandemi ini, ada juga tenaga medis yang berjuang menangani pasien covid-19 meski taruhannya adalah nyawa.
“Saya berharap di momen kemerdekaan ini setiap anak bangsa mendapatkan pendidikan dan merdeka terhadap kesehatan.
Misalkan karena keterbatasan ekonomi, baik pendidikan maupun kesehatan, keduanya tidak bisa dijangkau. Menurut saya itu sakit,” Pungkas Nengsih.
5. La Hamza (56): Jadi Pencetak untuk Beli Smartphone

La Hamza (56) adalah satu dari sekian banyak orang tua murid yang sangat merasakan dampak dari peralihan metode belajar-mengajar tatap muka ke metode daring.
Hamza yang kesehariannya bekerja sebagai seorang petani tanaman jangka panjang itu harus menunggu musim panen yang hanya terjadi dua hingga tiga kali dalam setahun.
Kesulitan ekonomi membuat Hamza harus beralih sementara mata pencahariannya sebagai buruh pencetak batako.
Selain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, ia juga berusaha agar bisa membeli smartphone untuk anaknya, Vidun yang saat ini menempati kelas 1 SMP.
Sayangnya, di masa pandemi ini tidak banyak yang berminat untuk membeli batako yang dicetaknya secara manual itu.
“Kalau sudah laku uangnya mau saya belikan hape android,” ucap Hamza.
Sementara itu, Hamza yang mengaku hanya tamatan SD itu tidak begitu memahami tugas-tugas sekolah anaknya, sehingga dia tidak bisa dengan maksimal mendampingi waktu belajar Vidun di rumah.
• Lindungi Warga dari Corona, Pemuda di Skip Tengah Ambon Gelar Pasar Kaget
Namun, keinginan yang kuat dari Vidun agar tidak ketinggalan materi di sekolah membuat Hamza harus menemani anaknya mengunjungi kediaman guru-gurunya di hampir setiap hari.
“Ada guru yang bersedia belajar di rumah mereka, karena Vidun tidak bisa ikut kelas online. Saya sama istri sering antar Vidun secara bergantian. Anak saya itu dia tidak bisa kalau tidak belajar, makanya kami pun ikut saja,” aku Hamza.
Dia bersyukur ada salah satu guru Vidun (Ibu Nengsih) yang memfasilitasi proses belajar vidun.
Pun mempercayakan mempercayakan Vidun kepada gurunya dengan harapan anaknya bisa memperoleh pendidikan yang sama seperti siswa-siswi lainnya.
Pihaknya juga berharap, sistem pendidikan di tengah pandemi ini bisa lebih ramah terhadap semua lapisan masyarakat terutama keluarga yang kurang mampu seperti dirinya, agar anak-anak bangsa tidak tertinggal meski kondisi dirasakannya semakin sulit. (*)