Menyapa Nusantara

Bunga yang Layu di Pelaminan

Mimpi dan angan mereka dihentikan oleh keputusan yang bukan miliknya. Kondisi ekonomi, tuntutan adat istiadat, hingga tekanan sosial budaya

Editor: Fandi Wattimena
(Erlangga Bregas Prakoso)
Seorang penyintas pernikahan anak usia dini (kanan) saat diwawancarai pewarta Kantor Berita Antara di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. 

Berawal dari trauma masa lalu yang dibumbui dengan rasa saling tidak mau kehilangan satu sama lain menguatkan pasangan ini untuk sesegera mungkin membentangkan bahtera rumah tangga dengan perbekalan seadanya.

Lagi-lagi, tradisi Merariq mereka gunakan sebagai "by pass" menuju janji suci pernikahan di kala usia belum sampai untuk memenuhi aturan dan ketentuan negara.

Tahun silih berganti, hari-hari pasangan yang telah dikaruniai seorang anak perempuan ini pun dijalani dengan berat.

Bekal ekonomi yang tidak dipersiapkan sebelum pernikahan, diperparah dengan emosi keduanya yang belum stabil, kerap menjadi penyebab munculnya perselisihan yang tak kunjung usai.

Cerita-cerita manis saat berpacaran tidak nampak saat mereka satu atap. Suara token listrik bersahutan dengan nyaring suara anak merengek meminta susu formula menjadi ujian harian yang kerap dihadapi pasangan ini.

"Kalau dirasakan, ya, banyak penyesalan. Tapi mau gimana dijalani, kan, rumah tangga gak mungkinlah kita baru nikah terus pengen cerai. Dia sering minta cerai tapi saya tahan, banyak cobaannya," kata I-W.

Salah kaprah tradisi Merariq

Keindahan alam "Bumi Gora" dengan gugusan tiga Gili nan mempesona menjadikan Nusa Tenggara Barat masyhur hingga ke seantero negeri.

Namun, di balik tanah yang subur oleh adat dan budaya ini, tersembunyi kenyataan getir tentang masa depan anak-anak yang hilang sebelum sempat bermimpi.

Di sini, hukum negara yang mengatur mengenai batas usia pernikahan anak dilanggar atas nama adat istiadat hingga mengakibatkan praktik pernikahan bocah kian merajalela.

Data BPS tahun 2024 mengungkap bahwa prevalensi angka pernikahan anak usia dini di NTB menempati posisi teratas dengan 14,9 persen melampaui rata-rata nasional yang berada di angka 5,9 persen.

Fakta tersebut sekaligus menobatkan NTB sebagai daerah dengan status darurat pernikahan anak usia dini.

Tingginya angka pernikahan anak usia dini di Nusa Tenggara Barat yang acap kali dikait-kaitkan dengan adat Merariq masyarakat Suku Sasak, dianggap merupakan sebuah kekeliruan.

Istilah "menculik" yang erat dengan fenomena pernikahan anak dinilai telah melenceng dan memiliki konotasi negatif yang tidak mencerminkan realitas tradisi tersebut, sehingga sudah sepatutnya untuk dilarang.

Pemucuk Dewan Bini Masyarakat Adat Sasak Ratnaningdiah menegaskan adat Sasak tidak melegalisasi perkawinan anak usia dini yang berlindung di balik tradisi Merariq.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved