Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Maula M Pelu
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Kembali lagi, masyarakat adat Negeri Haya, Maluku Tengah, dan Komite Aksi Kamisan Ambon, menggelar aksi solidaritas di Depan Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (7/8/2025).
Aksi ini bertepatan dengan sidang agenda esepsi oleh terdakwa Satria Ardy Tuahan, selaku Kepala Pemuda Negeri Haya.
Tuahan tengah menjalani proses hukum atas tuduhan provokasi dalam insiden pembakaran fasilitas milik PT. Waragonda Minerals Pratama di Negeri Haya.
Bersama Sahin Mahulaw, satria disebut sebagai korban dugaan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak atas ruang hidup dan lingkungannya.
Aksi mereka berlangsung sekira pukul 14.00 WIT.
Dengan poster dan berbagai pamlet, mereka berjalan dengan titik Star dari jalan Slamet Riyadi tepat di kawasan Gong Perdamaian, menuju jalan Sultan Hairun, menuju jalan Sam Ratulangi, belok ke jalan A.M. Sangaji dan terus ke Jalan, A.Y. Patty, berakhir di Jalan Sultan Hairun tepat pada Pengadilan Negeri Ambon.
Mereka juga membuat bentuk sasi adat, simbol yang pernah dirusaki oknum PT. Waragonda Minerals Pratama di Negeri Haya, pada Februari lalu.
Tindakan tersebut itulah yang disebut-sebut memunculkan amarah dan reaksi dari warga setempat, untuk merusak sekaligus membakar fasilitas PT. Waragonda Minerals Pratama.
Baca juga: Bisnis Pasir Garnet Ilegal Terbesar Ada di India, Waragonda ?
Baca juga: Seruan Penolakan PT. Waragonda Kembali Bergema
Tulisan tulisan seperti ‘Hentikan kriminalisasi masyarakat adat penjaga ruang hidup’ dan ‘Bebaskan dua pemuda masyarakat adat Haya’ menjadi sorotan utama dalam aksi tersebut.
Seruan mereka tidak hanya menuntut pembebasan Satria dan Sahin, tetapi juga mengingatkan publik akan pentingnya menjaga kearifan lokal dalam melindungi lingkungannya.
Dugaan Kerusakan dan Ketimpangan
Ditemui TribunAmbon.com, Reza Wailissa, perwakilan Masyarakat Haya, tegaskan bahwa tuduhan terhadap kedua pemuda tersebut, tidak berlandasan bukti yang kuat.
Ia menjelaskan bahwa insiden pembakaran fasilitas perusahaan merupakan bentuk kekecewaan spontan dari masyarakat atas tindakan perusahaan yang dinilai merusak ruang hidup mereka.
Bukan gerakan individu.
“Seharusnya mereka tidak diproses. Alat bukti yang diajukan tidak kuat, dan tidak ada saksi atau bukti kongkrit yang menunjukkan keterlibatan langsung mereka,” ujarnya.