Ambon Hari Ini

Kasus Narkoba di Ambon, Praktisi Hukum Nilai Jaksa Tebang Pilih Restoratif Justice

Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali disorot tajam usai memutuskan penghentian penuntutan melalui skema Restoratif Justice

Penulis: Maula Pelu | Editor: Mesya Marasabessy
Kejaksaan Tinggi Maluku
KEJAKSAAN- Video Conference dalam perkara penyalahgunaan narkotika dan pencemaran nama baik, penghentian penuntutan dengan pendekatan Keadilan Restoratif, Rabu (9/7/2025). 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Maula M Pelu

AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali disorot tajam usai memutuskan penghentian penuntutan melalui skema Restoratif Justice (RJ) terhadap tersangka kepemilikan lima paket narkotika jenis sabu di Kota Ambon pada Rabu (9/7/2025) kemarin. 

Keputusan ini menuai kecaman dari berbagai pihak yang merasakan penegakan hukum, salah satunya praktisi hukum, Tri Hendra Unenor, saat dikonfirmasi kepada TribunAmbon.com, Sabtu (12/7/2025).

Dia menilai keadilan Restoratif yang diusulkan Kejaksaan Tinggi Maluku bersama Kejaksaan Negeri Ambon, dan diterima oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagai bentuk penegakan hukum yang tebang pilih dan sarat ketidakadilan. 

Baca juga: Dana Desa Ilili SBT Diperuntukan Bangun Sumur dan Posyandu

Kasus ini menjerat ‘AR’ alias Khadafi sebagai sebagai tersangka yang ditangkap di rumahnya pada Desa Batu Merah Kota Ambon, dengan kondisi baru saja menggunakan sabu. 

Alih-alih diproses hingga ke Pengadilan, kasus ini dihentikan dengan dalih pemulihan berdasarkan keadilan restoratif oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Unenor menegaskan bahwa meskipun keputusan tersebut didasarkan pada UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, serta Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, namun praktik yang diterapkan dinilai tebang pilih atau tidak mencerminkan keadilan yang setara. 

“Ini jelas tebang pilih. Seorang tersangka dengan lima paket sabu bisa mendapatkan RJ, tetapi banyak penyalahgunaan lain yang jauh lebih sedikit barang bukti, justru dihukum berat. Dimana rasa keadilan,” ujarnya dengan nada tinggi. 

Baca juga: Prakiraan Cuaca Provinsi Maluku Minggu 13 Juli: Sebagian Wilayah Diguyur Hujan Ringan

Praktisi hukum itu mencontohkan kasus Nanang Eko Setiawan yang memiliki satu paket sabu dengan berat 0,1294 gram dituntut 7 tahun penjara dan hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara.

“Kenapa kasus yang lebih ringan tidak diberikan pendekatan RJ. Karena dia rakyat biasa, bukan orang berpengaruh,” tegas  Unenor mempertanyakan integritas Kejaksaan. 

Ia menilai, langkah Kejaksaan membuka celah bagi praktik diskriminatif dalam penegakan hukum, yang bergantung pada status sosial dan kemampuan ekonomi pelaku. 

“UU dibuat untuk semua warga negara, bukan untuk kelompok tertentu saja. Jika keadilan Restoratif hanya diberikan kepada mereka yang punya akses atau kedekatan, maka itu bukan keadilan. Itu adalah pelecehan terhadap hukum,” pungkasnya. 

Jika keadilan Restoratif sering dibuat sepihak, maka diharapkan dapat dirasakan menyeluruh bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika, 

“Harapannya kedepan RJ dapat di terapkan kepada semua tersangka ataupun terdakwa yang menjadi penyalahguna narkotika tanpa tebang pilih,” ucapnya.

Sorotan tajam ini terhadap lembaga Kejaksaan, menambah panjang daftar pertanyaan publik atas konsistensi dan transparansi aparat penegak hukum dalam menerapkan keadilan. 

Masyarakat seluruhnya menanti langkah tegas institusi terkait untuk memastikan bahwa hukum benar-benar berdiri tegak, bukan hanya tunduk kepada mereka yang memiliki akses ekonomi maupun akses kekuasaan. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved