Kebijakan Power Wheeling Berdampak Negatif, Hanya Jadi Benalu dalam Transisi Energi Nasional

Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.

|
PLN
Serikat Pekerja PT PLN tolak kebijakan Power Wheeling. Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. 

3. Emisi Rendah

Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6 persen , tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling.

Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek. 

Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Serikat pekerja PLN tolak kebijakan Power Wheeling. Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.
Serikat pekerja PLN tolak kebijakan Power Wheeling. Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. (PLN UIW MMU)

Latar Belakang Legal Power Wheeling dan Privatisasi Energi

Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.

Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini. 

Selain itu, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal – pasal tertentu dalam RUU EBT.

Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060.

Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional. 

Studi Kasus Filipina: Pelajaran dari Privatisasi dan Power Wheeling

Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001.

Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling.

Berikut beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia: 

1. Kenaikan Harga Listrik

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved