Kebijakan Power Wheeling Berdampak Negatif, Hanya Jadi Benalu dalam Transisi Energi Nasional
Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.
Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2002 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
2. Mereduksi Peran Negara
Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
3. Potensi Sengketa
Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.

C. Dampak Teknis
1. Memperparah Oversupply
Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply.
Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
2. Meningkatkan Risiko Blackout
Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
D. Dampak Terhadap Ketahanan Energi
1. Ketersediaan Akses Listrik
Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai.
Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.
2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.