Kebijakan Power Wheeling Berdampak Negatif, Hanya Jadi Benalu dalam Transisi Energi Nasional
Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.
TRIBUNAMBON.COM -- Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia.
Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sementara itu, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
Baca juga: GM PLN UIW MMU Bawakan Kuliah Umum Terkait EBT bagi Mahasiswa Unidar Ambon
Baca juga: PLN UIW MMU Door to Door Kunjungi Pelanggan di Pulau Ambon Tepat Momentum HPN 2024
Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai "jalan tol" dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar "Toll Fee".
Namun, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi. L
Berikut analisis dampak Power Wheeling berdasarkan berbagai perspektif.
A. Dampak Keuangan :
1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik
Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30 persen dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50 persen .
Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.
2. Beban Keuangan Negara
Setiap 1 GW (gigawatt) pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara.
Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun.
B. Dampak Hukum
1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2002
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.