Mercy Barends Sarankan Penanganan Kasus Kekerasan di Maluku Berbasis Rumah Sakit dan Komunitas

Terutama di Provinsi Maluku dengan kondisi topografi kepualauan, dinilainya memiliki tantangan tersendiri.

Penulis: Adjeng Hatalea | Editor: Salama Picalouhata
TribunAmbon.com/Adjeng
MALUKU: Anggota DPR RI perwakilan Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Mercy Chriesty Barends saat diwawancarai TribunAmbon.com di Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (14/4/2022). 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Anggota DPR RI perwakilan Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Mercy Chriesty Barends mengatakan, dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di Maluku, perlu mengidentifikasi kebutuhan kondisi korban dengan jenis penanganan yang dibutuhkan.

Terutama di Provinsi Maluku dengan kondisi topografi kepualauan, dinilainya memiliki tantangan tersendiri.

Barends pun membagi kondisi korban dalam dua kategori, yakni berbasis rumah sakit dan komunitas.

“Persoalannya hari ini, penanganan P2TP2A itu bersifat Rumah Sakit, sementara yang dilaksanakan oleh pemerhati isu-isu perempuan lebih terarah berbasis komunitas. Nah Maluku yang berbasis kepulauan seperti ini, kita harus mengkombinasikan antara korban-korban kekerasan seksual yang berbasis rumah sakit dan penanganan korban yang berbasis komunitas,” ucap Barends saat diwawancarai TribunAmbon.com di Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (14/4/2022).

Baca juga: UU TPKS Sah, Mercy Barends: Negara Berikan Kepastian Hukum bagi Korban Kekerasan Seksual

Menurutnya, penting untuk membangun local aid.

Yakni, dengan meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat di tingkat desa atau dusun, sehingga mereka mampu untuk mengembangkan rumah-rumah aman (one stop service) bagi para korban.

Sehingga jika terjadi kasus kekerasan di tingkat desa atau dusun, sudah ada sumber daya lokal yang bisa melakukan penanganan pertama terhadap korban.

“Kemudian baru dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan visum, penanganan kepolisian untuk pelaporan, dan seterusnya,” ujar Anggota DPR RI dua periode itu.

Kemudian mempersiapkan para legal atau konselor untuk mengawal kasus tersebut selama proses di ruang hukum.

Menurutnya, jika proses hukum dilalui dengan mekanisme mitigasi, maka para korban pun akan bersiap sebaik-baiknya untuk masuk ke fase yang normatif itu.

“Bagaimana kita bisa mempersiapkan para legal, karena UU ini Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka NGO dan P2TP2A pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota juga harus mempersiapkan konselor dan para legal.

Jika ada kasus hukum yang dilalui dengan mekanisme mitigasi, mereka akan mempersiapkan diri, dengan sebaik-baiknya untuk masuk di fase mitigasi atau proses hukum normative,” terangngnya.

Sementara saat melewati fase non mitigasi, para legal juga bisa mempersiapkan proses melalui hukum adat.

“Perempuan dipukul, mengalami pemerkosaan. Ini harus menjadi satu keterpaduan, sistim rujukan yang terpadu di seluruh aspek. Sampai dia melakukan pemulihan dan kembali ke sosial untuk beraktivitas,” pungkasnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved