UU TPKS Sah, Mercy Barends: Negara Berikan Kepastian Hukum bagi Korban Kekerasan Seksual

Setelah berubah nama dari RUU PKS menjadi TPKS, penguatan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual menjadi jauh lebih kuat.

Penulis: Adjeng Hatalea | Editor: Salama Picalouhata
TribunAmbon.com/Adjeng
MALUKU: Anggota DPR RI perwakilan Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Mercy Chriesty Barends saat diwawancarai TribunAmbon.com di Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (14/4/2022). 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Adjeng Hatalea

AMBON, TRIBUNAMBON.COM – Pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, selasa (12/4/2022) lalu dinilai mampu memberikan kepastian hukum bagi para korban.

Menurut Anggota DPR RI perwakilan Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Mercy Chriesty Barends, setelah berubah nama dari RUU PKS menjadi TPKS, penguatan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual menjadi jauh lebih kuat.

“Dengan hadirnya UU TPKS ini bisa memberikan kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual di mana saja di Indonesia,” ucap Barends saat diwawancarai TribunAmbon.com di Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (14/4/2022).

Baca juga: RUU TPKS Sah Jadi Undang-undang, JMS Maluku; Wujud Keberpihakan Negara pada Korban

Baca juga: Ini 9 Jenis Kekerasan Seksual yang Diatur dalam UU TPKS

Menurutnya, pengesahan RUU TPKS juga memperlihatkan kehadiran negara bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.

“Ini memperlihatkan bahwa negara hadir terhadap seluruh berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan, terutama kekerasan seksual,” terangnya.

Dia menilai, infrastruktur penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga sudah dihadirkan di berbagai tingkatan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Misalnya, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir khusus sebagai service provider untuk pelaksanaan penanganan terpadu korban kekerasan seksual di berbagai tingkatan daerah itu.

“Persoalannya hari ini, penanganan P2TP2A itu bersifat rumah sakit, sementara yang dilaksanakan oleh pemerhati isu-isu perempuan lebih terarah berbasis komunitas,” sebutnya.

Dia pun menyarankan agar pemerintah daerah beserta pihak terkait harus memberikan perlakuan penanganan yang tepat sesuai dengan kebutuhan para korban kekerasan seksual.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved