Lumbung Ikan Nasional
Fahri Bachmid; Kebijakan Desentralisasi Asimetris, Pempus Wajib Realisir PSN LIN dan ANP
Sebuah diskursus yang lumrah, sebab terkait dengan urusan hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi sangat sensitif serta atensi dari berbagai pihak.
Selain itu, tiga dari sembilan wilayah pengelolaan perikanan (fishing ground) utama Indonesia berada di perairan Maluku, yaitu di Laut Banda, Laut Arafura, dan Laut Seram, dengan mendasarkan pada potensi perikanan tersebut, idealnya kebijakan negara untuk membangun Lumbung Ikan Nasional (LIN) Maluku dengan konsekuensi pembetukan regulasinya setingkat undang-undang, tentu juga merupakan pilihan kebijakan negara yang “reasonable” serta sejalan dengan “beleeid” desentralisasi asimetris untuk memastikan terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif disatu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera disisi lain secara seimbang dan berkelanjutan.
Secara teknis, Pemprov Maluku telah memberikan dukungan sesuai kebutuhan, termasuk menyiapkan dokumen desain induk dan dokumen studi kelayakan Maluku LIN. Kedua dokumen itu telah disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Surat Gubernur Maluku Nomor 523/349 tertanggal 26 Januari 2021. Disisi yang lain, Pemprov Maluku juga telah memfasilitasi penyiapan lokasi kawasan pusat perikanan terpadu seluas 700 hektare di Desa Waai dan Liang, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, 300 hektare diantaranya akan dimanfaatkan untuk pembangunan Ambon New Port.
Menurutnya, dukungan tersebut merupakan sebuah langkah maju serta kebijakan yang proporsional serta berpihak pada kepentingan masyarakat luas di maluku yang harus di apresiasi, tinggal “political will” dari Pemerintah Pusat dengan membuat kebijakan strategis pada level negara yang harus di kongkritkan serta dapat direalisir agar masyarakat bisa dapat merasakan manfaatnya.
Fahri Bachmid berpendapat, secara hukum sebenarnya UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda, khususnya ketentuan Kerja Sama Daerah sebagaimana diatur dalam norma Pasal 363 ayat (1) mengatur “Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan; dan ketentuan ayat (2) mengatur “Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan:
a. Daerah lain;
b. pihak ketiga; dan/atau
c. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ayat (3) mengatur bahwa “Kerja sama dengan Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikategorikan menjadi kerja sama wajib dan kerja sama sukarela”.
"Sebenarnya Gubernur dalam kapasitasnya sebagai Wakil Pemerintah Pusat maupun sebagai pelaksana otonomi daerah diberikan fasilitas kebijakan jika suatu ketika berdasarkan pertimbangan strategis dan komprehensif dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta kesejahteraan dapat saja melakukan perjanjian internasional untuk membangun daerah, dan jika suatu ketika terbuka peluang kerjasama itu, maka gubernur dapat saja mengambil kebijakan kerjasama internasional dalam membangun daerah maluku ke arah yang lebih baik, tentunya dengan pertimbangan nasional serta kepentingan kesejahteraan masyarakat," tutup Fahri Bachmid. (*)