Omnibus Law

Omnibus Law Tidak Dipositifkan, Fahri Bachmid; Problematis Bagi Pemerintah dan DPR

Menurut Fahri Bachmid, untuk menjawab kebutuhan serta kemendesakan konstitusional penyempurnaan dan perbaikan UU Cipta Kerja ini, selain opsi-opsi

Editor: Fandi Wattimena
Sumber; Istimewa
Fahri Bachmid, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia 

Kedua : pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang.

Ketiga, pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU.

Baca juga: Diapit Taman I Love Ambon Manise, Bundaran Leimena Makin Apik

Baca juga: Atlet Maluku Berprestasi di Ajang PON XX Papua Akhirnya Terima Bonus

Keempat : pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, dan semua tahapan dan standar yang di operasikan oleh Mahkamah, digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan UU yang dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dan Mahkamah menilai tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif.

”Dalam hal ini, jika minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikualifisir cacat formil dalam pembentukannya, dan UU Cipta Kerja ini termasuk dalam kategori cacat formil tersebut, sebab pertanyaan hipotetis Pemohon adalah apakah pembentukan UU 11/2020 dengan metode Omnibus Law telah menimbulkan ketidakjelasan rumusan, yaitu apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?,” tukas Fahri.

Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa terlepas dari definisi Omnibus Law tersebut, Fahri menyampaikan, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apapun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut.

“Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” jelas Fahri.

Dan Mahkamah, menurut Fahri, menegaskan bahwa oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan UU; maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

Dengan demikian MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang mempunyai sifat kekhususan berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk.

Sehingga MK secara imperatif mewajibkan agar UU Cipta Kerja segera dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta dapat mengakomodir asas-asas pembentukan UU, sebagaimana amanat UU 12/2011.

Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan dengan menyertakan partisipasi publik secara maksimal dan lebih substansial, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi sesuai norma konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD NRI tahun 1945. (*)

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved