Demo Mahasiswa Aru
Mahasiswa Pulau Aru - Maluku Demo dengan Kostum Pakaian Adat
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Pulau Aru (Permru) berunjuk rasa di gedung Gubernur Maluku dengan mengenakan kostum pakai
Penulis: Risman Serang | Editor: Adjeng Hatalea
Laporan Kontributor Tribunambon.com Risman serang
AMBON, TIBUNAMBON.COM – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Pulau Aru (Permru) berunjuk rasa di gedung Gubernur Maluku dengan mengenakan kostum pakaian adat, Senin (13/9/2021).
Pantauan TribunAmbon.com di lapangan, para demonstran ini datang dengan berbagai atribut demo.
Salah satu yang menarik, yakni kostum pakaian adat yang dilengkapi dengan peralatan perang seperti busur panah yang terbuat dari kayu.
Pada bagian kepala diikatkan kain merah atau yang disebut dengan kain berang.
Ikat kepala ini diakui sebagai identitas laki-laki dalam Suku Huaulu, juga sebagai ornamen wajib ketika para lelaki akan berangkat untuk berperang.
Dalam aksi itu, para pendemo dalam pakaian adat itu juga menampilkan tarian tradisional asal Kepulauan Aru.
Tarian itu dimaknai sebagai eksistensi laku-laki yang menjaga harkat dan martabat kaum perempuan dan batas wilayah atau tanah adatnya.
Tarian tersebut juga menjadi representative perlawanan mahasiswa Aru terhadap pemerintah atas pengesahan pembangunan bandara di atas tanah adat leluhur mereka.
Adapun tuntutan aksi yang disampaikan para demonstran, yakni meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Maluku untuk mengembalikan tanah adat mereka.
Massa juga membawa sejumlah poster bertuliskan ‘Save Marafenfen’ yang merupakan tanah adat masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.

Puluhan mahasiswa ini juga secara bergantian berorasi menyuarakan aspirasi mereka.
Seorang orator aksi dalam orasinya menyatakan, tanah adat di Desa Marafenfen, Kabupaten Kepuluan Aru dibatasi kepemilikan tanah, karana pembangunan bandara TNI Angkatan Laut di atas tanah tersebut.
Pendemo tak terima hutan adatnya direnggut, kehidupan hewan endemic, seperti Burung Cendrawasih, Kakatua juga terancam karena penggusuran yang dilakukan.
Mereka juga meminta Gubernur Maluku, Murad Ismail untuk segera mencabut SK TNI AL yang dikeluarkan pada 22 Januari 1992 agar tanah adat bisa diselamatkan.