Gempa Guncang Malteng
Puluhan Mahasiswa Berhasil Kumpulkan Rp 3 Juta untuk Korban Gempa Malteng, Aksi Masih Berlanjut
Sejumlah mahasiswa berhasil mengumpulkan lebih dari Rp 3 juta saat aksi penggalangan dana untuk korban gempa Maluku Tengah.
Penulis: Jenderal Louis MR | Editor: Salama Picalouhata
Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Dedy Azis
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Sejumlah mahasiswa berhasil mengumpulkan lebih dari Rp 3 juta saat aksi penggalangan dana di Jalan Sultan Babullah, Sirimau, Kota Ambon, Rabu (16/6/20210 kemarin.
Mereka berhasil mengumpulkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu dua jam.
Menurut keterangan koordinator aksi, Amien Silawane, mereka memulai aksinya pukul 16.00 hingga pukul 18.00 WIT.
"Kami menggalang dana selama dua jam. Alhamdulillah bisa terkumpul Rp. 3.333.500 dalam waktru singkat," ujar Silawane kepada TribunAmbon.com melalui sambungan telepon, Kamis (17/6/2021) pagi.
Meski demikian, Silawane dan kawan-kawannya masih terus melakukan penggalangan dana.
"Melihat banyaknya bantuan oleh warga, kami akan memperpanjang aksi ini, agar bantuan dari masyarakat bisa disalurkan secara maksimal," kata dia.
Baca juga: Update Gempa Maluku Tengah: 7.227 Warga Mengungsi, Mereka Belum Dapat Bantuan
Baca juga: Update Gempa Maluku Tengah: Ratusan Rumah Rusak, Ribuan Warga Memilih Mengungsi
Katanya, dana yang terkumpul akan dibelikan sejumlah kebutuhan pokok, seperti sembako dan obat-obatan untuk korban gempa di Maluku Tengah.
Seperti diberitakan, dampak gempa berkekuatan 6.1 magnitude di Maluku Tengah (Malteng), sebanyak 143 unit rumah hancur dan 7.227 warga di lokasi terdampak mengungsi.
Tercatat di antara 143 rumah yang rusak, Desa Tehoru sebanyak 40 unit, Haya 18 unit, Yaputih 15 unit dan Saunalu 70 unit rumah.
Ribuan Warga Desa Tehoru tersebut, hingga saat ini masih bertahan di 17 titik pengungsian yang berlokasi di ketinggian dan hutan.
Warga yang mengungsi ke lokasi ketinggian dan hutan karena rumah mereka mengalami kerusakan akibat gempa.
Selain itu, banyak warga yang rumahnya berada di pesisir pantai takut untuk pulang. Mereka memilih bertahan di tenda pengungsian. (*)