Kisah Layangan Putus Belum Tentu Benar, Mengapa Orang Mudah Percaya dan Langsung Bersimpati?
Viral kisah "Layangan Putus", meski belum tentu kebenarannya, mengapa orang mudah percaya dan langsung bersimpati?
Sebelum mengulas lebih lanjut tentang ketersediaan heuristik, Anda bisa menjawab pertanyaan ini.
Pekerjaan mana yang lebih berbahaya, polisi atau nelayan? Mayoritas orang akan menjawab jika polisi mungkin menjadi pekerjaan dengan risiko yang lebih besar dibanding nelayan.
Namun, menurut US Bureau of Labour Statistic, ternyata nelayan rentan terbunuh.
Dibanding dengan profesi polisi, nelayan memiliki risiko 10 kali lebih besar dibanding dengan profesi penegak hukum tersebut.
Tentu saja, hal ini tidak bisa menjadi patokan jika pekerjaan polisi memiliki risiko yang kecil.
Keyakinan jika polisi merupakan pekerjaan dengan risiko lebih besar dibanding nelayan, disebabkan oleh ketersediaan heuristik.
• Melamar Pekerjaan, Wanita Ini Justru Dilamar, Curhatannya Viral, Begini Reaksi Sang Calon Bos
Kondisi ini merupakan keadaan di mana manusia memilih untuk memikirkan jalan pintas yang mengarahkan seseorang untuk melebih-lebihkan suatu peristiwa.
Selain itu, kondisi ini terjadi ketika sebuah kejadian itu lebih terasa atau hidup dalam ingatan seseorang.
Seorang perwira polisi yang terbunuh saat menjalankan tugas, tentu lebih diingat oleh khalayak dibanding dengan jumlah nelayan yang tewas di laut, misalnya.
Kemudian, ingatan tersebut mengendap dan menjadi kepercayaan umum jika pekerjaan polisi memiliki risiko yang lebih besar dibanding profesi lainnya.
Ingatan yang mengendap tersebut bisa mengakibatkan adanya bias pada suatu peristiwa.
Dengan demikian, seseorang bisa langsung memercayai sebuah kabar karena adanya kedekatan atau akan ingatan khusus yang mengendap atas peristiwa tersebut.
Penalaran emosional
• Viral Istri Tinggalkan Suami yang Pilih Lindungi Selingkuhan Telanjang di Jalanan
Disukai atau tidak, sebagian besar orang dapat dengan mudah terombang-ambing oleh emosi yang terjadi. Manusia berpikir jika perasaan dan emosi mereka dikendalikan oleh logika dan alasan yang masuk akal.
Sayangnya, hal ini selalu terbalik. Terkadang, manusia pada akhirnya menggunakan kemampuan berpikir mereka untuk membenarkan perilaku mereka yang memang terbawa emosi.
Fenomena ini dikenal dengan nama emotional reasoning atau penalaran emosional yang bisa menyesatkan seseorang tanpa mereka sadari.