Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Thamzil Thahir
TRIBUNAMBON.COM - Daeng Lala (37 tahun), dua tahun terakhir, menjadi sebuah nama di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, bahkan Indonesia.
Di era, ‘semua bisa jadi content creators’ ini, Daeng Lala pantas membuat iri banyak orang.
Berlatar keluarga nelayan tradisional, ia membuat konten sederhana; kehidupan nelayan pesisir.
Ia menjadi teladan ‘jangan membuang sampah plastik’ di laut dan pantai.
Pelanggan tetap (subscriber) di channel YouTube-nya, (https://www.youtube.com/channel/UCmjWfjqqrpYdIZdA4Ru0ubA), hingga pekan kedua September 2021 ini, sudah melampaui setengah juta lebih, 537K.
Angka ini tiga kali lipat dari total penduduk kota kelahirannya, Bau-bau, 176.244 jiwa.
Jika subscriber channel YouTube dan followers di fans page Facebooknya digabung, maka total aset digital Daeng Lala, pun melebihi penduduk dua kota besar di Provinsi Sulawesi Tenggara di tahun 2020, Kendari (404.232) dan Bau-Bau (176.224).
Catat itu baru, per 13 September 2021.
Dengan rerata produksi 3-5 content per hari, dan viewers mencapai 750 ribu per content, diprediksi total aset digitalnya di akhir tahun Kerbau Logam ini awal 2022, bisa melampaui 1 juta pelanggan.
Berapa penghasilannya dari monetizasi akun itu?
Sekadar ilustrasi faktual, saat membagikan penghasilan dari channel monetization pertamanya, Daeng Lala membagikan sekitar Rp86 juta ke 20-an anggota timnya.
Momen itu dia unggah pada sekitar Desember 2020 lalu.
Duo ‘pemeran pembantu cilik’, Jinji (11 tahun) dan Yoga (13 tahun), misalnya, mendapatkan amplop berisi kurang dari Rp2 juta.
Baca juga: Karibo Coffee, Angkringan Romantis Wisata Kuliner di Kota Jawa Teluk Ambon
“Jinji itu, anak yatim piatu, liar, lepas dan putus sekolah. Uangnya saya minta agar ditabung dan dicatat sama neneknya yang sudah berusia 75 tahun.” kata Daeng Lala, kepada Tribun, di Pondok Pancing Daeng Lala, Pantai Lakeba, Bau-bau, Sabtu (12/9/2021) siang.
Saat itu, subscribers-nya masih di bawah 100 ribu.
Usai Lebaran Idul Fitri, Daeng Lala, menginispirasi warga sekampung menjadi konten kreator YouTube sebagai penghasilan tambahan.
Di masa gelombang kedua pandemi, Daeng Lala mulai dilirik sebagai endorser obyek wisata pesisir di Pulau Buton.
Enam bulan terakhir, pondoknya mulai dikunjungi kepala daerah, camat, kepala dinas wisata, bankir, akademisi, hingga aktivis lingkungan. Ia menjadi penggerak.
Ayah satu putri ini, mulai jadi inspirator ‘level kampung’. Di Dusun Sulaa dan Kelurahan Katobengke, pesisir Pantai Labengke, Daeng Lala, menjadi stimulator keuangan skala keluarga.
Setahun terakhir, dia mendidik warga kampung tua Lipu Morikana, cara menjadi YouTubers.
“Saya saja mulai bikin konten dan edit video dengan hape Rp800 ribu,” ujar Daeng Lala, kala menginspirasi warga untuk dapat penghasilan tambahan dari monetizasi akun channel.
Hasilnya, dalam tempo enam bulan terakhir, 33 warga kampung Lipu, Katobengke, dan pesisir Pantai Labengke, mulai memproduksi life videos.
Ke-33 content creator terhimpun dalam komunitas “Saliwu”. Ini berarti kampung kelahiran.
Rerata subscriber YouTubers Saliwu ini masih dibawa 2.000-an.
Daeng Lala mudah meyakinkan para YouTubers kampung ini, sebab punya contoh lain.
Baca juga: Datangi Kantor Gubernur Maluku, Mahasiswa Aru Demo Tuntut Kembalikan Tanah Adat
Mama Vikha, channel istri Daeng Lala, yang baru delapan bulan dikelola sudah bisa menghimpun 236 ribu subscribers.
Sejak upload konten pertama, 30 Desember 2019, ibu kandung Aqilah Lala (10 tahun) ini, sudah memproduksi 361 item video.
Kisaran pendapatannya, dipotong pajak, bisa mencapai Rp30-an juta sebulan.
Ini belum termasuk, kalau Mama Vikha menerima order endorses brand, produk, atau kuliner.
Channel Mama Vikha berisi aneka dan cara penyajian masakan dan kudapan tradisional, lokal, hingga global.
Bukan hanya pemberdayaan warga kampung dasi sisi finansial dan sosial, Daeng Lala juga mengisi sisi spritual warga sekitarnya.
Tiap dua pekan, Daeng Lala mengudang ustad untuk memberi pengajian. Rumah panggungnya di bibir pantai dan tubiran batu cadas, dijadikan laiknya pesantren.
Anak usia wajib belajar, seumuran Jinji, Yoga dan Doda diajari melafalkan rangkaian huruf hijaiyyah.
Untuk Ibu-ibu dan nelayan kampung dibuatkan majelis taklim. “Dua kali seminggu, Selasa dan Kamis, kami undang Ustad Abu Saleh ke sini,” ujar Daeng Lala.
Kebiasaan dan upaya inilah yang mengkonfirmasikan sosok ramah, rendah hati dan murah senyum dari Daeng Lala.
Cara bicaranya pelan. Ia menjawab jika ditanya. Dalam logat Bau-Bau kental, kalimat tuturannya lugas.
Siapa Daeng Lala?
Ia lahir dan besar di Kampung Lipu Morikana, April 1984 silam. Nama aslinya Lala Belaka.
Nama dengan huruf ‘sederhana’ ini memang typikal nama warga kampung di gugus kepulauan provinsi Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Sematan Daeng di depan namanya, dipakai saat tinggal di Kota Makassar tahun 2015 hingga 2018 lalu.
“Kata Daeng itu saya pakai karena itulah akun facebook pertama saya buat di Makassar,” katanya.
Inisiatif nama depan itu, juga karena pertimbangan Daeng adalah nama sapaan untuk manusia pekerja dari wilayah timur Indonesia.
Ia adalah anak kedua dari empat saudara pasangan nelayan-Tukang kayu dan ibu rumah tangga.
Ayahnya Lahewu, pernah menjadi satpam di Depot Pertamina Terminal BBM Bau-Bau, di Sulaa, Betuambari, sekitar 2,3 km dari pusat Kota Bau-bau.
Ibunya Wahima juga masih kerabat ayahnya di Lipu, ini sekitar 2,5 km sebelah utara di luar Benteng Keraton Buton.
Daeng besar bersama sekitar 1.000-an keluarga Kampung Lipu, sekitar 1,7 km dari Pantai Lekeba.
Baca juga: Berikut Deretan Klub Sepak Bola Baru di Maluku
“Mata pencaharian warga di sini tidak tetap tapi punya kebun.Bisa tukang batu, tukang kayu, dan mencari ikan untuk dimakan dan dijual di pasar,” kata La Tuba (48), tetangga Daeng Lala, yang bekerja jadi satpam di sebuah rumah hiburan di sekitar Pantai Lakeba.
Wa Laihu (49 tahun), pemilik kedai kopi dan kue di dekat Pondok Pancing Daeng Lala, mengisahkan, sejak kecil Daeng Lala termasuk, anak patuh dan selalu membantu orangtuanya memancing di laut.
Daeng Lala adalah alumnus SDN 1 Katobengke dan SMPN 3 Kotabengke, Bau-bau.
Untung mengonglosi sekolah anak-anaknya, La Hewu juga bekerja sebagai satpam di Depot BBM Pertamina Bau-Bau, sekitar 1,7 km dari rumahnya.
Daeng Lala termasuk anak gigih yang ‘dipaksa’ untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Seperti 90-an persen warga Lipu, kelahiran 1960-an dan 1970-an, ayah dan ibu Daeng Lala, sudah bangga jika tamat sekolah dasar.
Dengan nilai bagus di SMP, Daeng Lala sempat lulus di SMAN 3 Bau-bau. Namun karena juga ikut membantu ekonomi keluarga, dia mendapat ijazah sekolah menengah atas di SMA Batara Guru. Ini salah satu sekolah swasta tertua di Pulau Buton.
Setamat SMA, 2003, Daeng Lala juga melanjutkan kuliah di Akademi Manejemen Informatika dan Komputer (AMIK) Bau-bau.
Saat kuliah, kegigihan Daeng Lala, untuk bertahan hidup sesuai ilmunya, ia mendirikan jasa pengetikan dan rental komputer.
Rumah panggung orangtuanya di Kampung Lipu Katobengke, Jl Dayanu Ihsanuddin, Bau-Bau, digubah jadi “ruang pengetikan.”
Ilmu instalasi komputer jaringan, dan teknik mengetik 10 jari, dia menyasar mahasiswa dan pelajar yang ngekos di sekitar kampungnya.
“Kadang saya dia begadang sampai subuh untuk ketik pesanan tugas mahasiswa,” kata Harianto (31), salah seorang tetangga Daeng Lala.
Dengan pendapatan tetap, dia juga sudah menikahi kerabat sekaligus tetangganya, Vikha.
Selepas kuliah dia pun diterima bekerja di bagian logistik dan supply BBM di kantor Pertamina Bau-bau, tahun 2011.
Kariernya menanjak. Dia mengurusi suplai dan pembelian BBM untuk wilayah Bau-Bau, dan timur Indonesia.
Tahun 2016, Daeng Lala pun mendapat tugas kerja ke Makassar. “Saya sempat tinggal di lorong dekat asrama Brimob KS Tubun dan Pasar Senggol, lalu pindah ke Rappocini.”
Tahun 2019 dia ditugaskan kembali ke Bau-Bau dan melayani suplai BBM industri nikel dan tabang di Morowali, Sulawesi Tengah, ke Ternate, hingga ke Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sebelum pandemi Corona menghantam dunia, dia kembali ke Bau-bau dan menghabiskan waktu dengan memancing.
Awalnya dia sewa perahu milik nelayan untuk menyalurkan hobi lamanya.
Awalnya, dia menggunakan pancing modern. Stik, reel dan alat pancing impor dia beli dengan harga tiga hingga empat kali lipat dari harga di Pulau Jawa dan Makassar.
Di sini, dia mulai membuat Channel Youtube Daeng Lala. Konten yang diupload masih sederhana, dan seputar memancing di perahu.
Konten sejenis ini, Namun dia ingin tampil beda.
Tanpa sengaja, saat air laut Pantai Lakeba surut di malam hari, dia ikut menangkap ikan bersama beberapa nelayan tradisonal tetanngganya.
Bukan alat pancing dan kail, si nelayan membawa tombak dan lampu penerang chargerable.
Keesokan harinya video ini diunggap bersama video cara memancing dengan teknik handliner.
Umpannya ikan hidup, sebesar jari telunjuk orang dewasa.
Kurang dari 24 jam, video itu sudah booming. “Penontonnya kebanyakan dari Malaysia dan Singapura, saya kaget.”
Belajar dari teknik memancing tradisional dengan bersama tetua kampung, itulah Daeng Lala mulai serius.
Konten-konten garapannya hanya seputar memancing, mengolah mahluk hidup laut dan pesisir, dan cara memasaknya jadi makanan rumah tangga ala Buton dan kepulauan Tukang Besi dan nelayan manusia Bajo.
Dan… sukses jadi content creator itu pun baru dimulai…..