Cerita Fredy Fernando Loumaly, Rela Jalan Kaki 11 Jam Demi Mengajar Siswa di Pegunungan Seram Utara

Fredy adalah Kepala SD Negeri 355 Maluku Tengah, sebuah sekolah yang baru mengantongi izin operasional pada Desember 2024 lalu.

|
Ist
PENDIDIKAN DI MALTENG - Kepala SD Negeri 355 Maluku Tengah, Fredy Fernando Loumaly bersama siswa foto bersama masyarakat, gambar diterima, Kamis (10/4/2025) 

MALTENG, TRIBUNAMBON.COM – Ketika kebanyakan guru di kota mengeluhkan macet menuju sekolah, Fredy Fernando Loumaly justru harus menembus belantara dan menyeberangi empat sungai besar demi bisa sampai ke ruang kelasnya—yang ironisnya bukanlah bangunan sekolah, melainkan rumah warga.

Fredy adalah Kepala SD Negeri 355 Maluku Tengah, sebuah sekolah yang baru mengantongi izin operasional pada Desember 2024 lalu.

Sekolah ini berada di Desa Hatuolo, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah—sebuah desa terpencil yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki selama kurang lebih 11 jam dari Desa Kaloa.

Medan yang dilalui bukan jalan biasa.

Hutan lebat, sungai-sungai besar tanpa jembatan, dan bukit terjal menjadi tantangan sehari-hari.

Baca juga: Potret Pendidikan di Pegunungan Seram Utara: Guru Jalan Kaki 11 Jam, Siswa Belajar di Rumah Warga

Baca juga: Kepala Mata Rumah Hatulesila Minta Pemkot Ambon Tetapkan Raja Definitif Negeri Rumah Tiga

Belum lagi cuaca ekstrem yang sewaktu-waktu bisa menghambat perjalanan.

Masyarakat juga bisa menggunakan jasa tukang ojek dari beberapa desa di pesisir Seram Utara diantaranya, Desa Pasahari, Desa Saitele, dan Desa Wahai.

Namun harus merogoh kocek Rp 300 ribu sekali jalan.

Itupun hanya setengah perjalanan karena diturunkan pada pemberhentian terakhir akses kendaraan, tepat di Desa Kaloa.

“Saya biasa turun ke pesisir setiap tiga bulan sekali. Sekali jalan pulang-pergi bisa habis Rp1,2 juta,” kata Fredy kepada TribunAmbon.com, Kamis (10/4/2025).

Sekolah Tanpa Gedung, Anak Belajar di Rumah Warga

Desa Hatuolo dihuni oleh sekitar 32 kepala keluarga.

Sejak lama, warga desa ini memimpikan hadirnya sekolah formal di kampung mereka.

Impian itu akhirnya mulai terwujud dengan diterbitkannya izin operasional SDN 355.

Namun hingga saat ini, gedung sekolah belum berdiri.

Proses belajar mengajar dilakukan di salah satu rumah warga yang secara sukarela dijadikan ruang kelas darurat.

“Kami baru punya dua rombongan belajar. Ada 17 anak yang terdaftar. Tapi karena belum ada guru cukup, dua guru honorer yang bantu tamatan SMA,” ujar Fredy.

POTRET PENDIDIKAN - Potret pendidikan anak-anak Desa Hatuolo Kecamatan Seram Utara saat mengikuti pembelajaran di rumah warga, gambar diterima, Kamis (10/4/2025)
POTRET PENDIDIKAN - Potret pendidikan anak-anak Desa Hatuolo Kecamatan Seram Utara saat mengikuti pembelajaran di rumah warga, gambar diterima, Kamis (10/4/2025) (Silmi Sirati Suailo)

Fredy tidak sendiri.

Ia dibantu dua pemuda desa tamatan SMA untuk mengajar siswa-siswa di desa tersebut.

Mereka bekerja tanpa pamrih demi memastikan anak-anak desa tetap bisa membaca, menulis, dan berhitung.

“Dulu, sebelum saya ditugaskan, siswa di sini sempat belajar pakai sistem jarak jauh.

Tapi akhirnya terhenti karena tidak ada guru yang bisa datang secara rutin,” kisahnya.

Bangunan Sekolah Hasil Swadaya Warga

Melihat semangat para siswa dan keterbatasan sarana, masyarakat Desa Hatuolo tak tinggal diam.

Mereka bergotong royong membangun sekolah darurat dari kayu dan bahan seadanya.

“Pembangunan masih dalam proses. Ini murni inisiatif masyarakat karena kami tidak mungkin menunggu terlalu lama,” tambah Fredy.

Masyarakat berharap pemerintah segera membantu pembangunan gedung sekolah yang layak agar proses belajar mengajar berjalan lebih optimal.

Saat ini, pihak sekolah masih dalam tahap pengurusan Dapodik (Data Pokok Pendidikan) sebagai syarat agar dapat menerima bantuan operasional sekolah (BOS).

“Tahun ini kami belum bisa dapat dana BOS. Mungkin baru tahun 2026 kalau data Dapodik sudah masuk dan diterima pusat,” jelas Fredy.

Harapan dari Ujung Negeri

Kisah Fredy dan anak-anak di Desa Hatuolo menggambarkan realitas pendidikan di sejumlah daerah terpencil Indonesia.

Di saat sebagian anak-anak menikmati fasilitas pendidikan berbasis teknologi, tak sedikit yang masih harus bertarung melawan keterbatasan.

Namun di tengah keterbatasan itu, semangat tak pernah padam.

Anak-anak tetap datang belajar dengan pakaian seadanya, duduk di lantai, dan menulis di atas meja kayu sederhana.

Mereka ingin pintar. Mereka ingin masa depan yang lebih baik.

“Saya ingin anak-anak di sini punya kesempatan yang sama. Mereka tidak kalah cerdas, hanya tempat mereka jauh,” kata Fredy.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved