Persetubuhan Anak

Kompolnas Pertanyakan Penghentian Penyidikan Kasus Persetubuhan Anak di Leihitu

Kompolnas menyoroti kasus dugaan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh 22 pemuda di Kecamatan Leihitu.

|
(KOMPAS.com/FITRI R)
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti saat memberikan keterangan pers di Polda NTB, Sabtu (13/10/2018) 

Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Jenderal Louis

AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyoroti kasus dugaan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh 22 pemuda di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Terlebih kasus tersebut berakhir damai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kapolsek Leihitu, Iptu. Moyo Utomo.

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti mengaku sangat terkejut dan menyesalkan terjadinya kasus tersebut.

Menurutnya, kasus ini merupakan alarm bahaya bagi anak dan harus menjadi perhatian semua pihak agar kasus serupa tidak boleh terjadi lagi.

Sebab itu dirinya mempertanyakan pemberhentian kasus tersebut.

"Kompolnas mempertanyakan mengapa kasus ini diberlakukan Diversi?, padahal ancaman hukumannya adalah 15 tahun dan denda paling banyak 5 milyar. Apalagi kejahatan ini dilakukan lebih dari satu orang, dan kejahatan ini juga bukan merupakan delik aduan yang dapat dicabut," kata Poengky saat dihubungi TribunAmbon.com, Minggu (3/11/2024).

Lanjutnya, upaya perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum wajib mempertimbangkan aturan dan mengutamakan perlindungan kepada anak yang menjadi korban.

"Kami paham bahwa kita perlu melindungi anak, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum, tetapi perlindungan tersebut juga harus mempertimbangkan aturan hukum yang berlaku, terutama perlindungan terhadap korban," paparnya.

Dengan melakukan SP3 terhadap kasus ini, Kompolnas melihat perlindungan terhadap korban sangat lemah dan justru berpotensi menoleransi kejahatan yang dilakukan anak, dan akan berdampak pada perulangan di masa yang akan datang. 

Apalagi kasus ini dihentikan, hanya ditukar dengan material ganti rugi sebesar Rp. 90 juta, sungguh melukai rasa keadilan korban.

"Seumur hidup dia akan mengalami trauma. Apakah uang Rp 90 juta tersebut akan mampu mengobati?," tanya Poengky.

Dengan tidak melihat adanya upaya pemulihan trauma korban dalam proses ini. 

Maka Kompolnas akan mengirimkan surat klarifikasi ke Polda Maluku dan meminta perhatian Divisi Propam Polri, Wassidik, Direktorat PPA Bareskrim Polri, Bid Propam, Ro Wassidik serta Direktorat PPA Polda Maluku untuk mengasistensi penanganan kasus ini. 

"Kompolnas berharap Propam dan Wassidik turun melakukan pemeriksaan dan evaluasi apakah SP3 sudah benar atau cacat dan harus dibatalkan," harapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved