Lumbung Ikan Nasional

Fahri Bachmid; Kebijakan Desentralisasi Asimetris, Pempus Wajib Realisir PSN LIN dan ANP

Sebuah diskursus yang lumrah, sebab terkait dengan urusan hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi sangat sensitif serta atensi dari berbagai pihak.

Editor: Fandi Wattimena
TribunAmbon.com/Fandi
MALUKU: Kawasan Ambon New Port dan Industri Perikanan, Waai 

TRIBUNAMBON.COM - Polemik serta perdebatan publik terkait kelanjutan Program Maluku Lumbung Ikan Nasional (MLIN) dan Ambon New Port (ANP) yang sudah masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN) sampai saat ini masih menghiasi ruang-ruang pemberitaan, baik nasional maupun lokal.

Sebuah diskursus yang lumrah, sebab terkait dengan urusan hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi sangat sensitif serta atensi dari berbagai pihak.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. mengatakan, secara konstitusional Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk proyek LIN (Lumbung Ikan Nasional) dan ANP (Ambon New Port) di Maluku tidak semata dilihat secara teknis kebijakan semata, tetapi lebih jauh hal ini erat kaitannya dengan hakikat serta spirit konstitusi dalam urusan penyelengaraan negara sebagaimana diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”.

Rumusan konstitusional tersebut merupakan norma yang secara “expressis verbis” wajib dijalankan oleh presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.

"Sepanjang yang berkaitan dengan pelaksanaan rezim pemerintahan daerah, maka tentu konstitusi telah memberikan panduan serta batasan yang tegas dan jelas tentang politik hukum kebijakan negara dalam prinsip pengelolaan teknis kepemerintahan," kata Fahri Bachmid.

Baca juga: Soal Proyek Maluku Lumbung Ikan Nasional, Presiden Jokowi Harusnya Tegas

Fahri Bachmid mengatakan, hal yang demikian dapat dilihat pada pengaturan sebagaimana terdapat dalam rumusan ketentuan Pasal 18A ayat (1) yaitu : “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selanjutnya ketentuan ayat (2) disebutkan bahwa “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.

Lebih Lanjut, Fahri berpendapat bahwa konsekwensi terhadap pola pendekatan serta alat kebijakan yang diambil oleh negara dalam memperlakukan daerah secara berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, bertolak dari kepentingan tersebut.

Fahri mengatakan, gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan. Namun, mestinya dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi, yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur dan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

"Hakikatnya pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodir setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang kultural serta historis masing-masing daerah kedalam sistem politik kebijakan nasional, dan mengingat bahwa setiap daerah/wilayah dalam sebuah negara memiliki struktur dan anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam," ungkap Advokat dari Law Office Fahri Bachmid & Partners.

Untuk itu konstruksi desain desentralisasi yang berbeda atau (asimetris) “asymmetrical decentralization” menjadi opsi yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat.

Baca juga: Dishub Bantah Lumbung Ikan Nasional Tak Jadi Dibangun di Maluku, Katanya Segera Diwujudkan, Kapan?

"Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal. Namun, juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip “diversity in unity” atau “unity in diversity”," jelasnya.

Dalam penjelasannya, Fahri melanjutkan, kebijakan desentralisasi asimetris merupakan reaksi atau treatment pranata organ pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan aktual, potensi, dan problem dasarnya masing-masing.

Contoh atas kebijakan asimetris, selain daerah istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta/Special Region of Yogyakarta), Otsus Papua, maka tujuh provinsi kepulauan yang ada yaitu Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau, harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi lingkungan hidup.

Pada dasarnya Pusat dapat memberikan model-model otonomi serta pola pendekatan kebijakan negara dengan basis serta strategi identifikasi dan proposal usulan spesifik dari setiap daerah, dengan demikian maka Provinsi Maluku yang memiliki potensi perikanan yang amat besar.

Hasil potensi perikanan Maluku berdasarkan data Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), yang mana potensi hasil laut dari Maluku yang berada di zona 3 mencapai 4,66 juta ton per tahun dengan nilai mencapai sebesar Rp117 triliun atau sekitar 37 persen dari total 12,5 juta potensi ikan yang ada di Indonesia.

Baca juga: Ada Sisa Ranjau Perang Dunia II, Jadi Alasan Lumbung Ikan Nasional Batal di Maluku

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved