Royalti di Kota Musik Dunia
Soal Royalti, MIC-L Sebut Aturan itu Mengancam Nasib Musisi Indie
Namun mengancam nasib musisi indie yang menggantungkan hidupnya dari cafe ke cafe.
Penulis: Jenderal Louis MR | Editor: Fandi Wattimena
Laporan Wartawan, TribunAmbon.com, Dedy Azis
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dinilai hanya menguntungkan penyanyi di bawah label ternama.
Namun mengancam nasib musisi indie yang menggantungkan hidupnya dari cafe ke cafe.
Keresahan itu diungkapan musisi Hiphop Kota Ambon, Michael Ruhulessin (MIC-L) kepada TribunAmbon.com, Minggu (11/4/2021).
“Aturan tersebut hanya menguntungkan penyanyi yang sudah terkenal melalui label, tapi kami di Ambon ini rata-rata Indie semua,” kata pria yang akrab disapa Mic-L itu.
Menurutnya, pengelola cafe dan restoran tentu keberatan dengan aturan tersebut lantaran bertambahnya beban pembiayaan.
Baca juga: Soal Live Music Wajib Bayar Royalti, ini Tanggapan Pengelola Cafe di Kota Musik Dunia
Baca juga: Penyanyi Cover Juga Harus Bayar Royalti
Kekhawatiran yang muncul adalah live music akan tergantikan dengan rekaman musik dari pemutar elektronik.
“Belum tentu café mau membayar Royalti kepada label, sekaligus membayar penyanyi lokal indie yang menyanyikan lagu orang lain,” ungkapnya.
Lanjutnya, musisi indie tidak sedikit jumlahnya. Sehingga menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah kota untuk membangun ekosistem musik di kota musik dunia ini.
"Ini tugas pemerintah kota," ujarnya.
Akhir Maret, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Dalam aturan ini, pemerintah mewajibkan sejumlah sektor usaha membayar royalti atas pemutaran lagu dan musik yang berdampak keuntungan ekonomi. (*)