Masohi Hari Ini

Ternyata, Pemborosan Pengadaan Obat Akibatkan Utang RSUD Masohi Mengendap Capai Rp. 4 Milyar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RSUD MASOHI - Tampak depan Gedung RSUD Masohi di Kelurahan Namaelo Kota Masohi

‎Laporan Jurnalis TribunAmbon.com, Silmi Sirati Suailo

‎MASOHI,TRIBUNAMBON.COM - Rentetan persoalan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Masohi, penyebabnya mulai terkuak satu persatu.

‎Kisruh soal terbatasnya obat di rumah sakit plat merah itu memuncak dengan informasi bahwa ada hutang rumah sakit yang mengendap senilai Rp. 4 miliar sejak dipimpin direktur-direktur lain sebelum akhirnya dinahkodai Anang Rumuar.

Baca juga: Soal Izin PT Batulicin, Rahayaan Desak DPRD Maluku Bentuk Pansus

‎Pada forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Maluku Tengah, Senin (16/6/2025) lalu Direktur RSUD Masohi, Anang Rumuar menceritakan pola pengadaan obat yang dinilai boros.

‎Pasalnya, Permenkes No. 63 Tahun 2014 mengatur tentang pengadaan obat melalui E-Catalogue. Regulasi itu diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Peraturan Menteri Kesehatan terkait.

‎Sayangnya, praktik pengadaan obat yang terjadi di internal manajemen RSUD Masohi sebelum dipimpin Rumuar dinilai menyimpang dari regulasi.

Pasalnya saat itu diterapkan sistem Open loss dari rumah sakit langsung memesan ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau perusahaan obat.

‎"Terkait obat-obatan yang kurang, ini pola penyediaan yang tadinya penyediaan open- loss (RSUD)  langsung ke PBF. Sekarang sistem  kontrol 1 pintu (Pengadaan lewat ULP)," tutur Rumuar.

‎Ia menjelaskan, yang kategori kurang ini adalah internal dokter-dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) atau dokter spesialis.

‎"Pasalnya para dokter mau pesan obat harus ada semua (obat yang mereka standarkan), tapi mereka tidak berhitung apakah masuk dalam Formularium Nasional (Fornas) BPJS Kesehatan atau tidak," urai Rumuar.

Baca juga: Pekan Kemarin, Sejumlah Pembesar Perusahaan Diperiksa Kasus Rp. 177 M PT. Dok Waiame

‎Dokter tertentu berkehendak bahan medis harus merupakan barang yang kualitas baik, maka disini terjadi proses penggunaan bahan yang tidak terkontrol atau boros.

‎"Saya cek handscom dari Dinkes mereka kasih 20 dos saja. Kita lihat dengan rasio penggunaan, tiap Minggu tiap ruangan ajukan permintaan bagian farmasi, Sayangnya, farmasi berikan laporan bahan habis pakai tapi tidak ada laporan penggunaannya (berapa banyak)," ungkapnya.

‎Ia menjelaskan, selama ini seperti itu (polanya) sehingga di bawah manajemennya ia mengontrol dan memastikan bahan habis pakai dan obat.

‎"Terjadi perubahan yang tadinya mengharapkan APBD, setelah manajemen seperti ini saya warning ke farmasi untuk pesan obat dalam kontrol saya ke PBF Ambon," terang Rumuar.

‎Pola itu yang dipangkas lanjutnya, (saat ini) pengadaan dan pelelangan menggunakan ULP oleh pejabat pengadaan lewat ULP melalui e catalogue.

‎"Sementara untuk penghasilan klaim BPJS kita bagi 56 persen pendapatannya untuk obat dan 44 persen untuk jasa pelayanan manajemen dokter dan perawat," pungkas Rumuar. (*)

Berita Terkini