Video Viral

Desak Polisi Ungkap Penyebar Video Asusila Opa dan EL, Rahantan: Tuk Akhiri Perdebatan Warganet

Terungkapnya penyebar video juga akan mengakhiri perdebatan warganet tentang status tersangka yang kini membawa si Opa mendekam di Rutan Polresta.

Editor: Fandi Wattimena
TribunAmbon.com
Ilustrasi Video Asusila 

TRIBUNAMBON.COM – Praktisi hukum, Fikry Rahantan mendesak kepolisian segera mengungkap pelaku penyebar video asusila ‘Opa dan perempuan muda’ di Kota Ambon yang viral sepekan terakhir.

Menurutnya, penyebar video adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut.

Terungkapnya penyebar video juga akan mengakhiri perdebatan warganet tentang status tersangka yang kini membawa si Opa mendekam di Rutan Polresta.

Sementara pemeran perempuan, bisa tidur nyaman di rumah dengan statusnya sebagai korban.

“Dalam hal ini saya memiliki pandangan berbeda soal dasar dalam menentukan korban dan pelaku, dalam pandangan saya, penetapan korban atau tersangka tidak dapat diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin melainkan harus berlandaskan pada kehendak untuk merekam dan mempublikasikan,” kata Rahantan dalam rilis yang diterima TribunAmbon.com, Selasa (25/6/2024).

Dijelaskan, jika keduanya memiliki kehendak yang sama untuk merekam dan mempublikasikan konten pornoografi maka keduanya adalah tersangka.

Jika hanya salah satu pihak yang memiliki kehendak untuk merekam dan menyebarluaskan maka pihak tersebutlah yang harus dijadikan tersangka sedangkan pihak yang lainnya merupakan korban yang telah dilanggar hak hak privasinya.

“Sebaliknya apabila keduanya hanya memiliki kehendak untuk merekam tanpa menyebarluaskan maka pihak yang menyebarluaskan merupakan tersangka dan keduanya merupakan korban,” imbuh Rahantan.

Baca juga: Si Opa Diancam Penjara 24 Tahun dan Denda Rp 12 Miliar, Perempuan Hanya Jadi Korban

Baca juga: Beredar Video Asusila Opa dan Perempuan Muda di Ambon, Ternyata Bukan Video Lama

Lanjutnya, dalam beberapa kasus cyber pornografi harus dipahami bahwasanya video tersebut direkam untuk koleksi pribadi, bukan untuk kepentingan komersil atau untuk tujuan disebarluaskan dan menjadi konsumsi publik.

Dengan demikian  jika video berkonten seks tersebut secara tanpa hak atau tanpa persetujuan pihak yang ada didalam video tersebut disebarkan oleh pihak lain maka seharusnya penyebar konten itulah yang dijadikan tersangka, dan pihak yang berada di dalam video seharusnya berstatus sebagai korban karena hak dan privasinya telah dilanggar secara melawan hukum.

“Hal ini sejalan dengan konsep perlindungan hukum bahwasanya Hukum merupаkаn pelindung bаgi kepentingаn individu аgаr iа tidаk diperlаkukаn semenа-menа dаn perlindungаn bаgi mаsyаrаkаt dаn negаrа аgаr tidаk seorаng pun melаnggаr ketentuаn-ketentuаn yаng telаh disepаkаti bersаmа,” jelasnya.

Baginya, salah satu penyebab lemahnya perlindungan hukum terhadap korban cyber pornografi adalah dengan adanya antinomi pada norma hukum yang mengatur terkait pornografi.

Hal ini saya temui di dalam  dalam UU Pornografi  Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 6 beserta penjelasannya.

Baca juga: KPU Goes to Campus Jadi Momen Edukasi Demokrasi Menuju Pilkada 2024

Pasal 4 Ayat (1) menyatakan: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.

Namun di dalam penjelasan Pasal 4 Ayat(1) diberikan pengecualian bahwa frasa “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Kemudian Pasal 6 Undang-undang P0rnografi menyatakan:

“Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan”.

Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 6 terkait larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Dapat dilihat bahwasanya Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 bertentangan dengan isi pasalnya sendiri sehingga tidak memberi adanya jaminan kepastian hukum seperti yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Terkait persoalan ini memang pernah diajukan ke mahkamah konstitusi untuk dilakukan uji materil, dalam putusannya Maria Farida Indrati, hakim Mahkamah Konstitusi juga  mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-VIII/2010  terkait Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Hakim Maria Farida berpendapat bahwasanya terdapat pertentangan pengertian antara rumusan norma dalam Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasan pasalnya, serta rumusan norma dalam Pasal 6 dan Penjelasan pasalnya.

Adanya pertentangan pengertian antara pasal-pasal dan penjelasan pasalnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Selain itu, aparat kepolisian juga harus transparan dalam penanganan kasus tersebut. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved