Korupsi di Maluku
6 Terdakwa SPPD Fiktif BPKAD Tanimbar Jalani Sidang Perdana: Korupsi Hingga RP 6 Miliar
Keenam terdakwa masing-masing Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid P
Penulis: Tanita Pattiasina | Editor: Fandi Wattimena
Laporan Wartawan TribunAmbon.com, Tanita Pattiasina
AMBON, TRIBUNAMBON.COM - Enam terdakwa kasus dugaan korupsi anggaran perjalanan dinas pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) tahun 2020 jalani sidang perdana, Kamis (13/10/2023).
Keenam terdakwa masing-masing Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malirmasele Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang, Bendahara BPKAD tahun 2020.
Sidang dipimpin oleh Majelis Hakim Harris Tewa didampingi dua hakim anggota lainnya masing-masing Wilson Shuriver dan Antonius Sampe Samine di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon.
Para terdakwa juga didampingi kuasa hukumnya Antony Hatane Cs.
Dalam Dakwaan JPU mengatakan, keenamnya mengkorupsi anggaran Perjalanan Dinas yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara hingga Rp.6.682.072.402.
“Akibat perbuatan para terdakwa telah menyebabkan kerugian negara sebagaimana telah dihitung sebesar Rp.6.682.072.402,” kata JPU.
JPU menjelaskan para terdakwa menggunakan sejumlah uang dari Perjalanan Dinas untuk dibagikan ke oknum-oknum tertentu.
Baca juga: Eks Kadis Pendidikan Malteng Diadili: Didakwa Korupsi Dana BOS Hingga Rp 3 Miliar
Seperti ketua Komis B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang menerima uang sebesar 450 juta dan beberapa anggota DPRD yang tak disebutkan namanya menerima sejumlah uang.
Serta pihak lainya untuk nikahan anak mantan Bupati KKT Petrus Fatlolon.
Awalnya, Saksi Apolonia Laratmase salah satu anggota DPRD KKT datang menemui Terdakwa Jonas Batlayeri dikantor BPKAD.
Saat itu Saksi Apolonia Laratmase menjelaskan bahwa kapasitasnya datang sebagai perwakilan Anggota DPRD KKT, menyampaikan “jika ingin APBD Perubahan 2020 segera ditetapkan maka beliau meminta untuk menyiapkan uang sejumlah Rp400 juta dan saat itu karena dana yang tersedia hanya Rp200 juta.
Terdakwa kemudian menyampaikan kalau permintaannya sebesar itu tidak mampu untuk dipenuhi, akhirnya Saksi mau dan sepakat dengan Rp200 juta.
“Selanjutnya Terdakwa berkonsultasi dengan Sekretaris Daerah dan setelah mendapat persetujuan untuk menyerahkan dana tersebut, kemudian Terdakwa mengarahkan Sekretaris untuk menyerahkan uang Rp200 juta tersebut kepada Saksi Apolonia Laratmase dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediamanan Saksi Apolonia Laratmase di Desa Olilit Saumlaki,” kata JPU.
Tak hanya APBD Perubahan 2020, hal yang sama juga terjadi di pembahasan Rancangan APBD Induk 2021, yang juga mengalami deadlock.
Di Desember 2020, Saksi Laratmase datang menemui Terdakwa Jonas Batlayeri kembali dikantor BPKAD dan menyampaikan kembali "jika ingin APBD Induk 2021 segera ditetapkan maka beliau meminta untuk menyiapkan uang sejumlah Rp250 juta.
“Atas permintaan tersebut Terdakwa menyetujuinya, selanjutnya Terdakwa mengarahkan Sekretaris yakni Maria Gorety Batlayeri untuk menyerahkan uang Rp250 juta tersebut kepada Saksi Apolonia Laratmase dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediaman Saksi Apolonia Laratmase di Desa Olilit Saumlaki,” tambah JPU.
Total uang yang diserahkan ke DPRD yakni RP 450 juta itu ternyata seluruhnya diambil dari anggaran kegiatan perjalanan dinas pada BPKAD Tahun Anggaran 2020 yang bersumber dari anggaran perjalanan dinas yang dikelola oleh Sekretaris dan masing-masing bidang.
Dalam proses pengumpulan dikooridinir langsung oleh terdakwa Maria Goretty selaku Sekretaris dan Kristina Sermatang selaku Bendahara Pengeluaran berdasarkan arahan Terdakwa Jonas Batlayeri selaku Kepala Badan.
Tak hanya untuk mempermulus pembahasan APBD, sebagian Anggota DPRD yang tak disebutkan nama nama mereka juga menerima sejumlah uang sekitar 195 juta.Terhadap hal itu, JPU menjerat para terdakwa dengan dakwaan primer, pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Serta dakwaan subsider, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim kemudian menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda eksepsi/keberatan dakwaan JPU dari kuasa hukum terdakwa. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.