Global
Hamas Ajukan Dua Syarat untuk Setujui Gencatan Senjata dengan Israel
Hamas, kelompok militan Palestina yang menguasai Jalur Gaza, bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kontingen militer Israel denga
GAZA, TRIBUNAMBON.COM - Hamas, kelompok militan Palestina yang menguasai Jalur Gaza, bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kontingen militer Israel dengan dua syarat, menurut seorang pejabat senior Hamas.
"Kami memberi tahu semua pihak bahwa kami akan menerima gencatan senjata bersama dengan Israel dengan dua syarat," kata Dr Basem Naim, mantan menteri kesehatan Palestina yang sekarang menjadi kepala dewan hubungan internasional Hamas, kepada ABC News diwartakan pada Rabu (19/5/2021).
"Pertama, pasukan Israel harus menghentikan serangan ke kompleks Masjid Al-Aqsa dan menghormati situs tersebut.” “Kedua, Israel harus menghentikan evakuasi paksa warga Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah. Kondisi ini sesuai dengan hukum internasional, bukan hanya syarat yang diharapkan oleh otoritas Hamas."
Namun, menurut seorang pejabat Israel yang mengetahui langsung masalah tersebut, mengaku Israel, bagaimanapun, tidak tertarik dengan syarat apa pun.
Baca juga: Sejumlah Anggota DPR AS Berupaya Blokir Penjualan Senjata ke Israel
"Kami menyatakan berhenti sebelum waktunya adalah memberi Hamas kemenangan yang diinginkannya," kata pejabat Israel itu kepada ABC News pada Selasa malam (18/5/2021).
Hamas, kelompok militan Palestina yang menguasai Jalur Gaza, bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kontingen militer Israel dengan dua syarat, menurut seorang pejabat senior Hamas.
"Kami memberi tahu semua pihak bahwa kami akan menerima gencatan senjata bersama dengan Israel dengan dua syarat," kata Dr Basem Naim, mantan menteri kesehatan Palestina yang sekarang menjadi kepala dewan hubungan internasional Hamas, kepada ABC News diwartakan pada Rabu (19/5/2021).
"Pertama, pasukan Israel harus menghentikan serangan ke kompleks Masjid Al-Aqsa dan menghormati situs tersebut.”
“Kedua, Israel harus menghentikan evakuasi paksa warga Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah.
Kondisi ini sesuai dengan hukum internasional, bukan hanya syarat yang diharapkan oleh otoritas Hamas." Namun menurut seorang pejabat Israel yang mengetahui langsung masalah tersebut, mengaku Israel, bagaimanapun, tidak tertarik dengan syarat apa pun.
"Kami menyatakan berhenti sebelum waktunya adalah memberi Hamas kemenangan yang diinginkannya," kata pejabat Israel itu kepada ABC News pada Selasa malam (18/5/2021). Terima kasih telah membaca Kompas.com.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email "Hamas harus kalah sebagai hasil akhir dari (pertempuran) ini." Kebuntuan tampak terjadi saat babak pertarungan antara kedua belah pihak memasuki hari ke-10 berturut-turut.
Hamas, yang memperoleh mayoritas dalam pemilihan legislatif Palestina 2006. Kelompok ini mengambil kendali Jalur Gaza pada 2007 setelah memerangi saingannya dari pasukan Palestina.
Sebelumnya kelompok militan ini mengaku serangan roketnya ke Israel merupakan tanggapan atas bentrokan baru-baru ini, antara pengunjuk rasa Palestina dan polisi Israel di Kota Tua Yerusalem di luar kompleks Masjid Al-Aqsa.
Situs itu merupakan salah satu tempat paling suci dalam Islam. Sementara bentrokan pecah di tengah meningkatnya kemarahan atas potensi penggusuran puluhan warga Palestina.
Ratusan ribu warga Palestina melarikan diri atau terusir dari rumah mereka sejak perang yang pembentukan Israel pada 1948.
Beberapa pengungsi Palestina kembali membangun kehidupannya di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem timur, tepat di luar Kota Tua.
Wilayah itu berada di bawah pemerintah Yordania pada 1950-an. Namun pada 1967, Israel merebut kota itu dari Yordania, bersama dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Sekarang, beberapa keluarga Palestina menghadapi kemungkinan penggusuran dari rumah-rumah di tanah yang diklaim pemukim Yahudi hilang dari mereka selama perang 1948. Hukum Israel mengizinkan warga untuk mengambil kembali tanah tersebut, tetapi tidak mengizinkan warga Palestina untuk melakukan hal yang sama.
Dorongan Amerika Serikat
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah berbicara melalui telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Biden berbicara dengan perdana menteri Israel pada Rabu (19/5/2021) untuk keempat kalinya dalam seminggu.
Dia "mengharapkan penurunan tensi yang signifikan hari ini (Rabu 19/5/2021), untuk menuju gencatan senjata," menurut pembacaan percakapannya dari Gedung Putih. Dorongan itu adalah yang paling tegas dari pihak AS, bahkan ketika Biden berulang kali mendukung hak Israel untuk membela diri.
Selama panggilan lain dengan Netanyahu pada Senin (17/5/2021), Biden "menegaskan kembali dukungan tegasnya bagi hak Israel, untuk mempertahankan diri dari serangan roket tanpa pandang bulu." Tetapi AS juga "menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata," menurut keterangan Gedung Putih.
Namun, sumber mengatakan kepada ABC News bahwa presiden AS mengambil nada yang lebih keras dengan pemimpin lama Israel daripada yang dia lakukan di depan umum, atau dalam percakapan pribadi sebelumnya.
Biden menyampaikan pesan bahwa dia hanya memberikan perlindungan begitu lama dari seruan yang berkembang di AS dan di seluruh dunia, dengan maksud supaya Israel mengambil pendekatan yang berbeda di Jalur Gaza.
Tetapi Netanyahu mengatakan bahwa serangan akan terus berlanjut.
"Arahannya adalah untuk terus menyerang sasaran terorisme," kata Netanyahu dalam konferensi pers pada Senin malam (17/5/2021).
"Kami akan terus bertindak seperlunya untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bagi semua penduduk Israel."
Israel dan Amerika Serikat, sebagai sekutu dekat, sama-sama menganggap Hamas sebagai organisasi teroris. Kelompok militan tersebut dinilai bertujuan untuk mendirikan negara Palestina merdeka sebagai bagian dari Israel modern.
Warga Palestina ingin memasukkan Jalur Gaza dan Tepi Barat di negara masa depan mereka, dengan Yerusalem timur sebagai ibu kota akhirnya.
Pemerintah AS telah menyuarakan dukungan untuk solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, yang akan menciptakan Israel dan Palestina yang merdeka.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017, dan memindahkan kedutaan AS di sana dari Tel Aviv pada 2018. Langkah kontroversial itu disambut baik oleh Israel dan dikutuk oleh Palestina.
(Kompas.com / Bernadette Aderi Puspaningrum)