Update Corona di Indonesia
Satu Tahun Pandemi dan Persoalan Pencatatan Data Covid-19 yang Belum Terselesaikan
Data terbaru pemerintah yang dirilis pada Senin (1/3/2021) menunjukkan total ada 1.341.314 kasus positif Covid-19 di Indonesia.
Oleh karena itu, menurutnya wajar apabila pemerintah dalam hal ini Satgas Penanganan Covid-19 pusat kemudian mengakumulasi kasus baru dari jumlah kasus hari-hari sebelumnya.
Sebagai contoh di Papua, Satgas Covid-19 melaporkan penambahan kasus harian sebanyak 1.755 kasus pada Kamis (3/12/2020).
Bagi KawalCovid19, kata dia, data kasus adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat untuk menentukan semua pilihan atau keputusan di tengah pandemi.
"Memberikan data yang tidak cuma akurat, tapi juga cepat. Itu bisa memberikan publik informasi untuk mempelajari risiko yang ada di lapangan," katanya.
"Jadi bayangkan kalau misalnya di daerah A, datanya tidak bergerak, oh berarti daerah itu sudah aman, publik akan berkata demikian. Bisa ada implikasi demikian, tapi kemudian ada update data lonjakan, mereka panik," jelasnya.
Elina melihat adanya perbedaan data dan pengakuan data yang diakumulasi itu membuktikan bahwa pemerintah belum memberikan alat untuk dapat mengambil keputusan di tengah pandemi kepada masyarakat.
Baik itu keputusan bepergian, bisnis, maupun keputusan hal yang seharusnya lebih berhati-hati karena ancaman Covid-19 masih mengintai.
Penjelasan alur pengumpulan data Covid-19 Kepala Pusat Data dan Infomasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menjelaskan alur pengumpulan data terkait penanganan virus corona atau Covid-19.
Menurut Didik, awal pengumpulan data dilakukan dari data pemeriksaan Covid-19 dari sejumlah laboratorium di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes).
"Kemudian dari data-data yang dari lab, spesimen dan sebagainya kemudian dikoordinasi oleh teman-teman yang ada di Badan Litbangkes. Dan semua kompilasi, compare di sana," kata Didik.
Setelah itu, Balitbangkes akan melakukan validasi dan verifikasi data yang diterima dari laboratorium lainnya.
Validasi diperlukan karena ada orang yang diperiksa lebih dari satu kali. Begitu selesai diverifikasi dan divalidasi, data tersebut akan dikirim ke Public Health Emergency Operation Center (PHEOC) milik Kementerian Kesehatan.
"Di sana (PHEOC) itu pun juga di verifikasi dan validasi," ujarnya. Ia menjelaskan, PHEOC tidak hanya menerima data dari Balitbangkes, tetapi juga data lainnya dari Dinas Kesehatan Data tersebut berupa jumlah orang dalam pemantauan hingga jumlah pasien sembuh dan diverifikasi.
"Kemudian setelah diverifikasi masuk ke dalam data warehouse di pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan. Ini secara sistem sudah langsung mengalir," ungkapnya.
Didik mengatakan, data yang masuk di warehouse data akan diverifikasi kembali. "Dan satu lagi adalah kita (data di warehouse) terintegrasi dengan Gugus Tugas ya," ucap Didik.
Penjasan soal terlambatnya pencatatan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menanggapi perihal masih adanya keterlambatan pencatatan data Covid-19.
Menurutnya, data kasus positif Covid-19 yang dipublikasikan setiap hari oleh pemerintah pusat bergantung pada kiriman data dari daerah.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkes, merangkum data dari daerah dengan sistem informasi bernama all record.
"Namun, setiap daerah menggunakan sistem informasi yang berbeda. Idealnya memang sistem yang dipakai daerah bisa langsung terkoneksi dengan sistem yang digunakan pusat," ujar Nadia ketika dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (3/2/2021).
Apabila bisa langsung terkoneksi, lanjut dia, data dari daerah bisa masuk ke sistem all record Kemenkes.
Yang jadi persoalan, kata Nadia, saat sistem yang digunakan di daerah berbeda maka data yang ada harus dimasukkan terlebih dulu ke sistem all record.
"Itu juga yang membuat lama. Misal ada 3.000 data tak bisa langsung segera (semuanya masuk)," ungkapnya.
Selain itu, keterlambatan pencatatan data juga bisa terjadi saat ditemukan data tidak valid ketika Kemenkes melakukan verifikasi data Covid-19.
Sehingga, lanjut Nadia, semestinya harus ada pembahasan bersama soal pencatatan data ini.
"Kalau ada perbedaan sebenarnya harus ada validasi data, kita lihat lagi, harus duduk sama-sama soal data ini. Karena data yang kita unggah adalah berdasarkan data di all record," katanya. "Sudah ada NIK, pemeriksaan menggunakan apa, hasil pemeriksaan apa. Bukan cuma laporan total pemeriksaan sekian jumlahnya," tambah Nadia.
Tak bisa terus dibiarkan Persoalan pencatatan data ini pun mendapat sorotan epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman.
Dia menilai, persoalan kendala pendataan kasus harian Covid-19 sebenarnya tidak bisa selalu jadi alasan pemerintah setiap terjadi lonjakan data kasus baru atau perbedaan data antara pemerintah pusat dengan daerah.
Sebab, baik pandemi maupun sistem pendataan Covid-19 sudah lama dilakukan pemerintah. "Dari dulu Indonesia tidak pernah melaporkan secara tepat.
Tidak ada laporan hari ini dites, hari ini keluar," ungkap Dicky.
"Sehingga, apa yang disampaikan soal data kemarin tidak ada yang baru. Bahwa data yang dilaporkan ke kita ini bisa dua, tiga pekan, bahkan mungkin ada yang beberapa pekan sebelumnya. Selama ini juga begitu," jelasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Satu Tahun Pandemi dan Persoalan Pencatatan Data Covid-19 yang Belum Terselesaikan