Virus Corona
Amerika Kembali Salahkan Cina atas Pandemi COVID-19, Trump Lakukan Penyelidikan yang Sangat Serius
"Kami melakukan penyelidikan yang sangat serius. Kami tidak senang pada China," kata Trump.
TRIBUNAMBON.COM, WASHINGTON - China kembali jadi bahan tudingan terkait pndemi COVID-19.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyebut China seharusnya dapat menghentikan virus corona sebelum melanda seluruh negara di dunia.
Trump mengungkapkan AS sedang melakukan penyelidikan serius atas apa yang terjadi.
"Kami melakukan penyelidikan yang sangat serius. Kami tidak senang pada China," kata Trump pada konferensi pers harian di Gedung Putih, Washington DC, Senin (27/4/2020) waktu setempat atau Selasa WIB.
Ia menyakini virus itu bisa dihentikan pada sumbernya.
"Itu bisa dihentikan secara cepat dan tidak akan menyebar ke seluruh dunia," kata Trump.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan seluruh bukti yang ada menunjukkan virus corona berasal dari hewan di China akhir tahun lalu, dan tidak dimanipulasi atau diproduksi di laboratorium.
"Semua bukti yang ada menunjukkan virus tersebut berasal dari hewan dan tidak dimanipulasi atau dibangun di laboratorium atau di tempat lain," kata Juru Bicara WHO Fadela Chaib.
Tidak jelas, tambah Chaib, bagaimana virus itu melompati penghalang spesies ke manusia, tetapi tentu saja ada inang hewan perantara.
"Kemungkinan besar virus itu memiliki wadah ekologis pada kelelawar, tetapi bagaimana virus beralih dari kelelawar ke manusia masih harus dilihat dan ditemukan."
Ia tidak menanggapi pertanyaan apakah apakah ada kemungkinan virus tersebut lolos dari laboratorium secara tidak sengaja.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan Amerika Serikat sangat yakin Beijing tidak segera melaporkan kemunculan wabah itu dan menutup-nutupi potensi betapa berbahayanya penyakit pernapasan yang disebabkan virus tersebut.
Kementerian Luar Negeri China membantah tuduhan-tuduhan itu.
COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 3 juta orang dan membunuh setidaknya 211 ribu orang di seluruh dunia, menurut Universitas Johns Hopkins.