Soal 10 Capim KPK: Tanggapan Wapres JK, Agus Rahardjo, hingga YBLHI: Calon Bermasalah
Berita terkini soal 10 capim KPK, tanggapan Wapres Jusuf Kalla, Agus Rahardjo, hingga penilaian YBLHI
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha | Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNAMBON.COM - Seleksi calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi topik hangat pemberitaan nasional.
Apalagi saat panitia seleksi mengumumkan 10 nama Capim KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dari tahapan tersebut, 10 nama Capim KPK mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, tak sedikit pula yang mengkritik nama-nama yang lolos tes.
Termasuk dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hingga Ketua KPK Agus Rahardjo.
Inilah rangkuman TribunAmbon.com.
Wapres JK: DPR yang Menentukan
Wakil Presiden Jusuf Kalla turut mengomentari masih banyaknya masyarakat yang tidak setuju dengan 10 calon pimpinan KPK atau capim KPK.
Padahal nama mereka tinggal diserahkan Presiden Jokowi ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan.
Menurut Jusuf Kalla selama ini pemerintah telah bekerja berdasarkan sistem dan Undang-Undang dalam capim KPK.
• Penyebab Mahasiswa S2 ITB Gantung Diri di Kamar Kos: Bukti Sepucuk Surat
• Viral, Istri Curiga Setelah Terima Surat Tilang Elektronik, Foto CCTV Suami Bonceng Wanita Lain
"Kalau UU mengatakan dibentuk panitia seleksi (Pansel) secara independen, kita bentuk pansel independen yang tidak ada orang pemerintahan disana," ucap Jusuf Kalla di kantornya, Rabu (4/9/2019).
Soal hasil Pansel atas 10 capim, ada yang senang dan tidak senang, menurut Jusuf Kalla itu hal biasa.
Jusuf Kalla juga menegaskan pada akhirnya DPR lah yang menentukan 5 dari 10 capim untuk menjabat sebagai pimpinan KPK.
"Pada akhirnya DPR yang menentukan, kalau mau lobby ya lobby DPR. Itu aturannya harus kita taati. Kan DPR milih 5 dari 10," kata Jusuf Kalla.
Penilaian YLBHI
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam Koalisi Kawal Capim KPK, Asfinawati, menilai masih ada capim KPK yang bermasalah pada daftar 10 nama Capim KPK yang sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Ia menilai, mereka yang bermasalah tersebut berpotensi menghambat atau merusak upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Masih ada calon-calon bermasalah yang sebetulnya kalau kita lihat lebih dalam, maka masalah mereka akan masuk ke dalam satu kategori. Kategori itu adalah mereka berpotensi untuk menghambat atau bahkan menghancurkan upaya pemberantasan korupsi," kata Asfinawati saat diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch Jakarta Selatan pada Selasa (3/9/2019).
Ia menilai ada setidaknya indikator yang menunjukan hal tersebut.
Pertama ada calon yang ingin fungsi penyidikan hilang.
"Ini terungkap di publik. Padahal kita tahu KPK itu ada justru untuk melakukan penyidikan kasus korupsi yang luar biasa salah satunya yang menyangkut penegak hukum, penyelenggara negara dan lainnya," kata Asfinawati.
Kedua, menurutnya ada capim KPK yang organiasasinya pernah menghambat upaya pemberantasan korupsi.
"Ada calon yang kita baca di media, berdasarkan organisasinya pernah menghambat upaya pengungkapan kasus korupsi dan tersangkut masalah etik," kata Asfinawati.
Ketiga, adalah masih ada capim KPK yang menghendaki Operasi Tangkap Tangan KPK tidak ada lagi.
"Jadi kita bisa membayangkan kala OTT tidak ada, pencegahan tidak ada karena orang yang tidak menyerahkan laporan harta kekayaan tidak mungkin meminta laporan harta kekayaan daei orang lain. Pencegahan tidak ada, OTT tidak ada, penyidikan dihilangkan, jadi sebetulnya apa yang tersisa dari KPK? Tidak ada. Jadi kalau kita perhatikan lebih seksama siapa calon-calon yang ada di 10 besar ini tentu saja tidak semua, tetapi cukup mendominasi juga yang menginginkan KPK tidak berfungsi. Dan kalau KPK ada hanya sebagai nama dan gedung dia tidak ada gunanya," kata Asfinawati.
Diberitakan sebelumnya, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) telah menyerahkan 10 nama capim jilid V kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penyerahan tersebut disampaikan Pansel Capim KPK secara langsung kepada Jokowi di Kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/9/2019).
"Sepuluh nama itu sudah ada. Satu, Alexander Marwata, Firli Bahuri, I Nyoman Wara, Lili Pintauri Siregar, Namawi Pangolango, Luthfi Jayadi, Johanes Tanak, Roby Arya, Nurul Ghufron, Sigit Danang Joyo," kata Ketua Pansel KPK Yenti Garnasih, Senin (2/9/2019).
• Terkuak Fakta Baru Kecelakaan Maut di Tol Cipularang, 2 Tsk Saling Telepon, Detik-detik Maut
Ketua KPK: Tetap Mengawal
Ketua Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengajak semua pihak untuk tetap mengawal 10 nama calon pimpinan (capim) KPK yang telah diserahkan Pansel Capim KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Agus pun bersyukur, Jokowi telah menjawab dengan terang dan bahkan berharap agar masyarakat dan para tokoh tetap memberi masukan untuk mengoreksi apa yang dikerjakan Pansel KPK.
"Jadi, KPK mengajak semua pihak untuk tetap mengawal dan menunggu 10 nama yang diajukan Presiden pada DPR secara resmi," ujar Agus dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/9/2019).
Meskipun, kata Agus, banyak perdebatan dan kritik dalam proses seleksi ini, namun hasilnya telah disampaikan kepada Jokowi.
KPK pun secara kelembagaan juga mendukung proses seleksi tersebut, yaitu di antaranya dengan membentuk tim khusus melakukan penelusuran rekam jejak calon dan menyerahkannya pada Pansel.
"Sebelumnya, telah disampaikan juga bahwa Kami menemukan sejumlah calon memiliki rekam jejak yang bagus, namun memang ada sejumlah temuan juga yang kami sampaikan, misal Ketidakpatuhan dalam pelaporkan LHKPN, Dugaan pelanggaran etik, dugaan perbuatan menghambat penanganan kerja KPK, dugaan penerimaan gratifikasi, dan catatan lainnya," jelasnya.
Agus juga menegaskan, pihaknya dapat mempertanggungjawabkan penelusuran rekam jejak itu, metode dan hasilnya.
Bahkan KPK juga telah mengundang Pansel untuk melihat bukti-bukti pendukung jika memang dibutuhkan.
"Sedikit banyak, kami berprasangka baik, Pansel pasti membahas temuan-temuan tersebut secara internal," katanya.
"Sehingga, ketika sore ini Presiden mengajak agar kita tidak tergesa-gesa dan menekankan pada hasil akhir yang diharapkan baik untuk KPK, maka wajar jika kita perlu sampaikan terimakasih atas respon tersebut," imbuh Agus.
• Profil Singkat Veronica Koman, Pengacara HAM yang Kini Jadi Tersangka Kasus Provokasi Terkait Papua
Profil 10 Capim KPK
nitia seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capin KPK) telah mengumumkan sepuluh nama kandidat hasil proses seleksi Capim KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (2/9/2019).
Sepuluh nama tersebut berasal dari beragam latar belakang, yakni satu dari KPK, satu dari polisi, satu dari jaksa, satu auditor, satu advokat, dua dosen, satu hakim, dan dua orang PNS.
Berikut profil singkat 10 Capim KPK periode 2019-2023 yang diserahkan ke Jokowi:
1. Alexander Marwata (Komisioner KPK 2014-2019)
Alexander atau yang akrab disapa Alex merupakan satu-satunya Komisioner KPK petahana yang lolos hingga seleksi tahap akhir.
Dikutip dari www.kpk.go.id, Alex lama berkarir di Badan Pengawas Pembangunan Keuangan (BPKP) yakni sejak 1987 hingga 2011.
Setelah sekitar 24 tahun berkiprah di BPKP, Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Februari 1967 itu kemudian banting setir dengan menjadi hakim ad-hoc di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saat menjalani wawancara dan uji publik seleksi Capim KPK di Kementerian Sekretariat Negara pada Selasa (27/8) lalu, Alex mengungkap adanya konflik di internal penyidik KPK. Bahkan, selaku pimpinan, Alex mengaku sulit mengakses berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik.
2. Firli Bahuri (Polri)
Seperti halnya Alexander Marwata, Firli merupakan satu-satunya anggota Korps Bhayangkara yang terpilih masuk 10 besar.
Firli saat ini menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.
Pria kelahiran Ogan Kumering Ulu, Sumatera Selatan pada 8 November 1963 ini sebelumnya menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Nama Firli berulang kali mengundang kontroversi.
Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli dilaporkan lantaran diduga bertemu dengan Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2018.
Baca: Jadwal Tanding Wakil Indonesia di Taiwan Open 2019 Hari Pertama, Laga Hafiz/Gloria Pukul 15:30 WIB
Baca: Dakwaan JPU di Sidang Kasus Narkoba Dianggap Sesuai, Kuasa Hukum Zul Zivilia Tak Ajukan Eksepsi
Padahal, saat itu, KPK sedang menyelidiki divestasi saham PT Newmont yang diduga terkait dengan TGB.
Firli juga disorot lantaran diduga menerima gratifikasi berupa menginap di Hotel selama dua bulan.
Saat mengikuti wawancara dan uji publik seleksi Capim KPK, Firli mengakui pertemuannya dengan TGB.
Namun, Firli mengklaim tidak melanggar kode etik terkait pertemuan tersebut.
Firli mengaku sudah meminta izin kepada Pimpinan KPK untuk menghadiri sebuah acara di NTB.
Di NTB, Firli mengaku diundang untuk bermain tenis di sana saya diundang bermain tenis.
Di lapangan tenis itu, Firli bertemu secara tidak sengaja dengan TGB.
Saat itu, TGB datang ke lapangan tenis setelah beberapa saat Firli bermain tenis. Firli mengaku sempat diklarifikasi oleh lima pimpinan KPK terkait pertemuan tersebut pada pertengahan Maret 2019.
Setelah proses klarifikasi, Firli mengklaim tidak ada pelanggaran kode etik yang dilakukannya terkait pertemuan dengan TGB.
"Unsurnya tidak ada. Saya tidak berhubungan dengan TGB. Yang menghubungi Danrem. Simpulan akhir tidak ada pelanggaran. Bisa ditanya ke Pak Alexander dan pak Laode," katanya.
Terkait dengan gratifikasi, Firli membantahnya.
Firli membenarkan pernah menginap di hotel bernama Hotel Grand Legi di Lombok selama kurang lebih dua bulan karena anaknya masih SD sementara dia harus kembali ke Jakarta untuk berdinas.
Namun, Firli membantah biaya hotel selama dua bulan merupakan bentuk gratifikasi.
Semua tagihan hotel, kata Firli, sepenuhnya ia tanggung sendiri.
3. I Nyoman Wara (Auditor BPK)
Nyoman Wara merupakan auditor utama investigasi BPK.
Namanya mencuat saat KPK menangani kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim yang menjerat mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Atas permintaan KPK, BPK menghitung kerugian keuangan negara dari megakorupsi tersebut yang mencapai Rp 4,58 triliun.
Nyoman Wara pun sempat dihadirkan KPK sebagai ahli dalam persidangan dengan terdakwa Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Agustus 2018 silam.
Bahkan, Nyoman Wara bersama BPK saat ini sedang menghadapi gugatan perdata yang diajukan Sjamsul melalui kuasa hukumnya di Pengadilan Tangerang, Banten.
Saat wawancara dan uji publik seleksi Capim KPK, Nyoman Wara pun menuturkan gugatan perdata yang dihadapinya.
Nyoman mengaku gugatan tersebut merupakan hak Sjamsul.
Baca: Lili Pintauli Siregar Jadi Satu-satunya Perempuan yang Masuk Dalam Daftar 10 Nama Capim KPK
Namun, Nyoman menegaskan perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPK maupun kehadirannya sebagai ahli di persidangan merupakan tugas sebagai auditor.
Nyoman mengatakan audit investigasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 2017 menunjukkan adanya kerugian negara.
Sedangkan untuk audit tahun 2002 dan 2006, Nyoman menyebut tidak ada kerugian negara lantaran audit tersebut merupakan audit kinerja bukan audit untuk menghitung kerugian negara.
"Tahun 2002 dan 2006 beda, karena dulu audit kinerja, tapi bukan untuk menghitung kerugian negara, tahun 2017 untuk menghitung kerugian negara," jelas Nyoman.
4. Johanis Tanak (Jaksa)
Johanis saat ini menjabat sebagai Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.
Tanak pernah menjabat sebagai Kajari Karawang dan Kajati Sulawesi Tenggara.
Saat mengikuti wawancara dan uji publik, Johanis Tanak mengaku pernah dipanggil Jaksa Agung HM Prasetyo.
Peristiwa itu terjadi saat dirinya menangani perkara mantan Gubernur Sulawesi Tengah Mayor Jenderal (Purn) Bandjela Paliudju yang merupakan Ketua Dewan Penasehat Partai NasDem Sulawesi Tengah.
Saat itu Johanis mengaku siap menerima arahan dari Jaksa Agung.
Kepada Jaksa Agung, Johannis mengaku menyampaikan kasus yang Bandjela Paliudju menjadi momentum bagi Prasetyo membuktikan integritasnya.
Selain soal 'intervensi' Jaksa Agung, Johanis Tanak juga menyebut OTT yang dilakukan KPK bisa menjadi penghalang atau penghambat pembangunan.
Baca: Dakwaan JPU di Sidang Kasus Narkoba Dianggap Sesuai, Kuasa Hukum Zul Zivilia Tak Ajukan Eksepsi
Investor yang sudah menanamkan investasi besar dalam suatu proyek tiba-tiba terhambat karena adanta OTT.
"Sekiranya OTT yang dikatakan itu kegiatan terencana. OTT itu suatu tindak pidana yang seketika terjadi. Kalau ada dan penyadapan, harusnya disampaikan daripada ditangkap disidik dan diperiksa sehingga menghabiskan uang negara" tutur Tanak.
5. Lili Pintauli Siregar (Advokat)
Lili dikenal sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2008-2013 dan 2013-2018.
Tak lagi mengabdi di LPSK, Lili kemudian mengurus kantor konsultan hukum pribadinya.
Namun baru jalan beberapa bulan ia maju sebagai calon pimpinan KPK.
6. Luthfi K Jayadi (Dosen)
Luthfi Jayadi merupakan Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang. Luthfi dikenal sebagai aktivis antikorupsi di Kota Malang dan menjadi pendiri Malang Corruption Watch (MCW).
7. Nawawi Pamolango (Hakim)
Nawawi merupakan satu-satunya hakim karier yang masuk 10 besar seleksi Capim KPK periode 2019-2023.
Alexander Marwata memang berasal dari hakim.
Namun, Alex, sapaan Alexander Marwata merupakan hakim adhoc, sementara Nawawi merintis karir sebagai hakim sejak 1988.
Selama 30 tahun berkarier sebagai hakim, lulusan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi itu pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Poso, Wakil Ketua Pengadilan Bandung, Ketua Pengadilan Samarinda, dan Ketua Pengadilan Jakarta Timur.
Saat ini, Nawawi menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali.
Pria kelahiran Manado, 28 Februari 1962 ini pun telah mengantongi sertifikasi hakim tipikor sejak 2006.
Nawawi pernah menangani sejumlah perkara korupsi besar, diantaranya Luthfi Hasan Ishaaq, Fatonah, Irman Gusman, Patrialis Akbar itu
8. Nurul Ghufron (Dosen)
Nurul Ghufron tercatat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember. Ghufron juga kerap menjadi saksi ahli bidang hukum di berbagai persidangan.
Sebelum menjadi dosen PNS, pria kelahiran Madura, 22 September 1974 ini juga punya pengalaman sebagai lawyer.
9. Roby Arya Brata (Pegawai Sekretaris Kabinet)
Di antara 10 kandidat yang lolos seleksi, Roby Arya mungkin yang paling berpengalaman mengikuti seleksi Capim KPK.
Roby Arya yang kini menjabat Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet (Setkab) tercatat telah dua kali ikut seleksi Pimpinan KPK yakni pada 2014 dan seleksi pimpinan KPK periode 2015-2019, namun gagal.
Tak patah arang, Roby kembali ikut seleksi menjadi Penasihat KPK dan lagi-lagi gagal. Sebelum mengikuti seleksi Capim KPK periode 2019-2023, Roby mencoba peruntungan dengan mengikuti seleksi Sekjen KPK. Namun, gagal kembali.
10. Sigit Danang Joyo (PNS Kementerian Keuangan)
Sigit saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Sigit diketahui pernah menjadi anggota tim pelaksana Tim Reformasi Perpajakan yang dibentuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2016 silam.
(TribunAmbon.com/Chrysnha/Tribunnews.com)