Serikat Buruh akan Mogok Nasional 6-8 Oktober 2020 atas Disahakannya RUU Cipta Kerja
"Mogok nasional dilakukan di lingkungan perusahaan, dengan protokol kesehatan seperti jaga jarak dan menggunakan masker," jelas Kahar S. Cahyono.
TRIBUNAMBON.COM - Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono mengatakan bahwa rencana adanya mogok nasional terkait penolakan disahkannya RUU Cipta Kerja terutama klaster ketenagakerjaan.
Kahar menambahkan bahwa nantinya mogok nasional akan dilakukan di lingkungan perusahaan.
Lantaran masih di tengah pandemi Covid-19, Kahar menyebut penerapan protokol kesehatan tetap diutamakan nantinya.
• Mengenal Seluk-beluk RUU Cipta Kerja dan Kontroversinya, Kini Disetujui DPR dalam Rapat Paripurna
• Banyak Pasal Kontroversial, RUU Cipta Kerja Disetujui ke Paripurna
"Mogok nasional dilakukan di lingkungan perusahaan, dengan protokol kesehatan seperti jaga jarak dan menggunakan masker," jelas Kahar saat dihubungi Kontan.co.id pada Minggu (4/10).

Nantinya dijelaskan Kahar buruh/pekerja akan tetap datang ke perusahaan seperti biasanya namun, bedanya pekerja akan melakukan mogok bekerja.
"Seperti ketika buruh setiap hari datang ke perusahaan. Bedanya, kali ini buruh datang untuk melakukan aksi [mogok]," imbuhnya.
Kembali ditekankan Kahar bahwa penerapan protokol kesehatan guna menekan penyebaran Covid-19 akan sangat diutamakan dalam pelaksanaan mogok nasional nantinya.
Mogok nasional dilakukan lantaran bentuk menyikapi rencana pemerintah dan DPR RI dimana akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna DPR RI, maka KSPI dan buruh indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan akan Mogok Nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020 sesuai mekanisme UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dengan Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
• Jika RUU Cipta Kerja Disahkan, Ancaman bagi Pekerja Kantoran: Rentan PHK hingga Kontrak Seumur Hidup
• RUU Omnibus Law Cipta Kerja Diwarnai Polemik, Bivitri : Kalau Salah Ketik Kenapa Satu Pasal?
Presiden KSPI Said Iqbal menuturkan dasar hukum lainnya untuk mogok nasional ini adalah UU no 21/2000 utamanya pada pasal 4.
Selain itu juga dipakai UU tentang HAM dan UU tentang hak sipil dan politik masyarakat.
Said menyebut, mogok nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh, bahkan diungkapnya, rencananya diikuti 5 juta buruh di 25 provinsi dan hampir 10.000 perusahaan dari berbagai sektor industri di seluruh indonesia, seperti industri kimia, energi, tekstil, sepatu, otomotip, baja, elektronik, farmasi, dan lainnya.
“Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya 3 isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Said Iqbal.
Lalu apa itu RUU Cipta Kerja?
RUU Cipta Kerja adalah bagian dari Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain: RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja.
Pemerintah dan DPR kejar tayang
Pemerintah dan DPR juga dianggap kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat investor asing menanamkan modal di Tanah Air sehingga bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu.
Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja.
Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah.
Lalu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu.
Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.
Jika disahkan, pemerintah dianggap memberikan legalitas bagi pengusaha yang selama ini menerapkan jatah libur hanya sehari dalam sepekan.
Sementara untuk libur dua hari per minggu, dianggap sebagai kebijakan masing-masing perusahaan yang tidak diatur pemerintah. Hal ini dinilai melemahkan posisi pekerja.
"Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi Pasal 79 RUU Cipta Kerja.
Ketentuan di RUU Cipta Kerja ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan, satu dan dua hari bagi pekerjanya.
"1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Beberapa ketentuan juga dianggap kontroversial antara lain terkait pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta jaminan sosial.
Apa Itu Omnibus Law?
Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, artinya Omnibus Law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Dengan kata lain, Omnibus Law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Sementara itu, dikutip dari Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ada 11 klaster yang masuk dalam undang-undang ini antara lain Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.
Dalam prosesnya di parlemen, tidak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR. Hanya saja, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait.
Banyaknya UU yang tumpang tindih di Indonesia ini yang coba diselesaikan lewat Omnibus Law. Salah satunya sektor ketenagakerjaan.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Contohnya, pemerintah berencana mengubah skema pemberian uang penghargaan kepada pekerja yang terkena PHK.
Besaran uang penghargaan ditentukan berdasarkan lama karyawan bekerja di satu perusahaan.
Namun, jika dibandingkan aturan yang berlaku saat ini, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, skema pemberian uang penghargaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja justru mengalami penyusutan.
Di dalam Omnibus Law, pemerintah juga berencana menghapus skema pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana ada penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Artikel ini telah tayang di Kontan.id dengan judul "KSPI pastikan mogok kerja akan dilakukan di lingkungan perusahaan" dan Kompas.com dengan judul "Jadi Kontroversi, Apa Itu RUU Cipta Kerja?".