Najwa Shihab Ungkap Respon Terawan saat Diundang ke Acara Mata Najwa
Najwa Shibab mengaku pihaknya berulang kali mengirimkan undangan wawancara kepada Menteri Kesehatan RI dr Terawan untuk acara Mata Najwa.
TRIBUNAMBON.COM - Presenter Najwa Shibab mengaku pihaknya berulang kali mengirimkan undangan wawancara kepada Menteri Kesehatan RI dr Terawan untuk acara "Mata Najwa" yang dipandunya.
Bahkan, hampir setiap minggu undangan dikirimkan kepada mantan kepala RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta itu.

Namun, jawaban dari pihak menteri kesehatan tidak sesuai harapan.
"Terkadang undangan itu direspon, terkadang juga tidak ada respon," ungkapnya.
Ia melanjutkan, pernah dijawab dan memberi alasan tidak bisa hadir namun saat diminta jadwal wawancara ulang, kembali pihaknya tak mendapat respons
"Pernah menjawab bahwa tidak bisa karena jadwal, dan kemudian kami selalu menawarkan agar wawancara diatur menyesuaikan waktu dengan agenda Pak Terawan," lanjutnya.
Najwa memaparkan, ada sejumlah alasan mengapa diperlukan kehadiran pejabat negara untuk menjelaskan kebijakan yang berimbas kepada publik.
"Mengundang dan atau meminta pejabat untuk menjelaskan kebijakan yang diambilnya adalah tindakan normal di alam demokrasi. Jika tindakan itu dianggap politis, penjelasannya tidak terlalu sulit," ungkapnya.

Pertama, jika “politik” diterjemahkan sebagai adanya motif dalam tindakan, maka undangan untuk Menkes Terawan memang politis. Namun tak selalu yang politik terkait dengan partai atau distribusi kekuasaan. Politik juga berkait dengan bagaimana kekuasaan berdampak kepada publik.
"Kami tentu punya posisi berbeda dengan partai karena fungsi media salah satunya mengawal agar proses politik berpihak kepada kepentingan publik," tutur Najwa.
Kedua, setiap pengambilan kebijakan diasumsikan adalah solusi atas problem kepublikan.
Siapa pun bisa mengusulkan solusi, namun agar bisa berdampak ia mesti diambil sebagai kebijakan oleh pejabat yang berwenang, dan mereka pula yang punya kekuasaan mengeksekusinya.
Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah presiden, dialah yang menentukan solusi mana yang diambil sekaligus ia pula yang mengeksekusinya.

Ketiga, tak ada yang lebih otoritatif selain menteri untuk membahasakan kebijakan-kebijakan itu kepada publik, termasuk soal penanganan pandemi.
Selama ini, penanganan pandemi terkesan terfragmentasi, tersebar ke berbagai institusi yang bersifat ad-hoc, sehingga informasinya terasa centang perenang.