Cerita Pengungsi Gempa Maluku, Lansia Jualan Lapat untuk Beli Air Bersih
Dia adalah satu dari ribuan warga Liang yang terpaksa mengungsi akibat gempa bermaknitudo 6.5 pada 26 September 2019 di Maluku
Laporan Kontributor TribunAmbon.com, Fandy
TRIBUNAMBON.COM - Tinggal di pengungsian gempa bukan pilihan, namun kondisi memaksakan perempuan lanjut usia ini tetap bertahan meskipun dalam keterbatasan.
Nur Rehalat (68) nama perempuan yang akrab disapa Nur itu telah setahun menjadi warga kamp pengungsian, di Komplek Huruf A, Dusun Rahbang, Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah.
Dia adalah satu dari ribuan warga Liang yang terpaksa mengungsi akibat gempa bermaknitudo 6.5 pada 26 September 2019.
Ibu empat orang anak ini tinggal di tenda seluas 3meterx2.5 meter, serupa ukuran tenda pada umumnya.
• Takut Disalahgunakan Masyarakat, Dana Korban Gempa Maluku 2019 Ditunda Penyalurannya
• Percepat Respon Gempa dan Tsunami, BMKG Ambon Segera Pasang 13 Unit WRS NG Generasi Terbaru
Tepat disamping tenda dibuatkan dapur kecil, dan kamar mandi tanpa toilet.
Saat disambangi TribunAmbon.com, Sabtu siang (26/9/2020), Nur tengah melipat daun pandan hutan untuk bungkus lapat atau lontong.
Dari obrolan singkat kami sore itu, Nur mengaku menjual lapat untuk kebutuhan makan, terlebih air bersih yang sulit dijangkau.
Setiap harinya setelah makan siang, Nur membuat sebanyak 60 bungkus lapat yang dijualnya di tengah pemukiman warga pada sore harinya.
"Lipat 60 bungkus setiap hari. kan berasnya 2 Kg, jadi dapat 60," ungkapnya.
Tidak banyak yang didapat, namun menurutnya cukup untuk membeli seikat sayur, minyak tanah dan air bersih.
"Dicukupin saja, yang penting ada air bersih untuk minum dan masak," ujarnya.
Belum Dapat Bantuan: Rumah Rusak, Takut Kembali
Untuk kebutuhan air bersih, Nur dan warga di kompleks huruf A harus menyewa jasa ojek untuk mengambil air dari sumur di pemukiman.

"Empat jeriken itu bayar Rp 5.000. Biasa beli delapan jeriken."