Hari Kartini

Hari Kartini 21 April: Sejarah, Perjuangan dan Emansipasi Perempuan

RA Kartini merupakan perempuan asal Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Ia dikenal gigih dalam memperjuangkan emansipasi perempuan melalui surat-sur

Editor: Adjeng Hatalea
WIKIMEDIA COMMONS/GPL FDL
Raden Ajeng Kartini 

TRIBUNAMBON.COM - Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini sesuai dengan tanggal kelahiran Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, Raden Ajeng (RA) Kartini.

RA Kartini merupakan perempuan asal Jepara yang lahir pada 21 April 1879.

Ia dikenal gigih dalam memperjuangkan emansipasi perempuan melalui surat-surat yang ditulisnya.

Buah pemikirannya itu kian meluas ketika RA Kartini gemar berkirim surat dengan kawannya di berbagai penjuru dunia.

Di kemudian hari, surat-surat itu dikumpulkan dan diberi judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan menuju Cahaya.

Pada 1922, tulisan RA Kartini diterbitkan menjadi buku kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeh Pikiran, oleh Balai Pustaka.

Sejarah Hari Kartini Peringatan Hari Kartini berawal dari dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964.

Kepres di masa Presiden Soekarno itu sekaligus menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.

Diresmikan Putin 2019 Silam, Ini 4 Keunikan Masjid Prophet Mohammed di Rusia

Dikutip oleh Kompas.com, Kartini merupakan putri tertua dari keturunan keluarga ningrat Jawa atau lebih dikenal sebagai bangsawan atau priyayi.

Ayah RA Kartini merupakan Raden Mas Sosriningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jepara. Sementara Ibunya yang bernama M.A.

Ngasirah merupakan putri dari seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Keluarga RA Kartini dikenal sebagai keluarga yang cerdas.

Kakeknya bernama Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah sosok cerdas yang diangkat menjadi bupati di usia 25 tahun.

Emansipasi perempuan

Dari buah pemikiran RA Kartini inilah, lahir yang namanya emansipasi perempuan. Ia aktif menyuarakan hak-hak perempuan yang saat itu terkungkung oleh norma dan budaya patriarki.

Budaya patriariki menormalisasi seorang perempuan yang hanya berperan pasif dalam kehidupan.

Dikutip dari Kompas.com, Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto mengatakan, RA Kartini ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya 'konco wingking'.

Artinya, perempuan memiliki peran yang lebih dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan.

"Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup, tak harus atas paksaan orantua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya," kata Edy.

Dalam budaya patriarki, perempuan sering kali dianggap tidak sama dengan laki-laki.

Oleh karena itu, perempuan Jawa pada masa itu tidak mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki pada umumnya.

Memperjuangkan pendidikan bagi perempuan

Pada masa itu, hanya perempuan dari kalangan tertentu yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. RA Kartini beruntung. M

asih dikutip dari sumber yang sama, RA Kartini berhasil memperoleh pendidikan di ELS (Europes Lagere School).

Sekolah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa, timur asing, atau pribumi dari tokoh terkemuka. Kendati demikian, RA Kartini hanya bisa bersekolah hingga usia 12 tahun.

Seletah berusia 12 tahun, ia harus menuruti tradisi Jawa yang membuatnya tinggal di rumah hingga menikah. Keterbatasannya mengenyam pendidikan tidak menghentikan perjuangannya.

Pada 1912, RA Kartini mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini (Sekolah Kartini) di Semarang.

Sekolah yang sama juga didirikan di kota lainnya, seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

(Kompas.com / Alinda Hardiantoro / Rizal Setyo Nugroho)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Menjaga Ruang Digital dari Hoaks

 

Drone Anka-S Siap Jaga Natuna

 

Bunga yang Layu di Pelaminan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved