Puan Maharani Ketua DPR RI Periode 2019-2024, Ini Calon Wakil Ketua Cucu Proklamator

Puan Maharani akan ditetapkans ebagai Ketua DPR periode 2019-2024 pada Selasa 1 Oktober 2019 malam ini

Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Politisi PDI Perjuangan Puan Maharani di Restoran Seribu Rasa, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2019). 

Setelah menyelesaikan RKUHP yang kontroversial, dan desakan masyarakat untuk terbitkan Perppu KPK, Hillary ingin menyuarakan undang-undang lain untuk menyosngsong revolusi industri.

"Setelah ini (RKUHP, Perppu KPK) kita bahas sampai selesai dan sudah menemukan solusi terbaik, saya juga ingin sekali memulai menyarakan undang-undang cyber crime, illegal vintage.

Mulai juga memperhatikan juga yang namanya identity theft, human privacy dan lain sebagainya.

Ini undang-undang dan aturan yang berkembang akibat revolusi industri," ujar dara 22 tahun itu.

Hillary memandang undang-undang tersebut membutuhan regulasi segera demi menghindari polemik yang mungki ditimbulkan.

Tak Mendapatkan Penanganan Medis yang Baik, 2 Pengungsi Gempa Ambon Meninggal di Tenda Darurat

"Kalau misalnya kita tidak cepat meregulasi ini, akan ada polemik yang terjadi lagi karena kita terlambat meregulasi.

Walaupun hukum memang selalu terlambat, ya?

Tapi, kalo sampai kita tidak cepat mendeteksi seperti negara-negara maju, jangan sampai masyarakat Indonesia haris menjadi korban dulu.

Sehingga itu salah satu program saya yang ingin saya canangkan nanti," terangnya.

Bicara mengenai RKUHP yang kini menjadi polemik di masyarakat, Hillary menilai DPR kurang melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya, termasuk kaum muda yang akan menerima dampak RKUHP ini.

"Menurut saya, sosialisasinya masih sangat kurang karena saya juga sudah sampaikan ke beberapa media bahwa kemarin itu sangat sulit mendapatkan naskah penuh dari RUU KUHP ini selama masa pembahasannya," akunya.

Hillary menilai kurangnya sosialisasi ini membuat masyarakat kekurangan informasi dan dengan mudah menerima informasi yang kurang benar.

"Akhirnya masyarakat bertumpu lagi pada broadcast WhatsApp, broadcast di social media atau bahkan mungkin berita-berita dari media online yang mungkin tidak kredibel dan akhirnya hanya memposting hal-hal yang kontroversial."

"Akhirnya masyarakat emosinya ke-trigger dan akhirnya sangat mudah terprovokasi, Indonesia malah jadi put at risk gara-gara risiko-risiko masyarakat tidak percaya dan dengan mudahnya orang-orang yang berkepentingan menanamkan provokasi-provokasi di pikiran masyarakat Indonesia.

Dan ini sangat berbahaya."

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved